Pada suatu hari. Di sebuah pondok yang dikelilingi pesawahan. Seorang pemuda terpikat pada seorang gadis belia yang rumahnya terlihat di seberang sawah di atas kolam ikan yang banyak pohon kelapanya. Gadis ini sering datang ke pondok membawa buku PR. Dan pemuda yang umurnya beberapa tahun di atas gadis membantunya menyelesaikan soal-soal sulit.
Keduanya bertemu pertama kali di mushola dekat rumah sang gadis saat si pemuda menjadi relawan kampus mengajar ngaji. Gadis cantik yang memiliki nama indah : Intan Cahaya Jaelani. Kulit nya putih bersinar seperti intan permata. Wajah nya ceria dan senyumnya berseri-seri. Jaelani mengingatkan pada nama Abdul Qodir Jaelani, mungkin bapaknya mengamalkan tarekat qadariyah naqsabandiyah.
Di hari minggu Intan mengajak pemuda ini untuk berjalan-jalan ke bukit dekat sapi-sapi diberi makan. Sambil membawa bekal nasi timbel mereka makan di atas hamparan rumput. Sambil makan Intan bercerita-cerita tentang kehidupan di sekolahnya sambil tertawa-tawa mendengar komentar lucu sang pemuda. Inilah momen dimana sang pemuda tak kuasa menyatakan cinta.
Saat tertawa di sela gigi Intan terselip serpihan kecil lalap daun singkong. Maksud hati menyadarkan gadis untuk membersihkan daun singkong yang terselip di gigi-giginya yang putih rapih. Malahan ia menyaksikan betapa manis, cantik dan indahnya gadis itu manakala tampak setitik hijau digiginya. Betapa tak elok memang saat terselip sisa makanan di sela-sela gigi, anak-anak kota menggunakan istilah geli untuk mengganti kata jijay bajijay. Namun entah kenapa ini menjadi ketakelokan yang elok. Inilah mungkin cinta yang disebut mencinta dengan apa adanya karena dengan apa adanya saja memang sudah indah. Saat itulah sang pemuda mengungkapkan rasa cintanya pada gadis belia yang umurnya jauh di bawahnya, karena cinta memang tak mengenal usia bukan.
"Serius!" Sang gadis bertanya dengan serius penuh selidik. Pemuda menjawab "CIYUS!" untuk mengungkapkan keseriusannya, tanpa sedikitpun memperlihatkan raut cengengesan. Keseriusan memang merupakan beban berat di jiwa namun untuk meringankan nya selalu ada cara, salah satunya mengganti kata "serius" menjadi "ciyus", untuk menimbulkan kesan ringan dan senang-senang yang menyenangkan namun tanpa menghilangkan arti dari keseriusan itu sendiri.
Gadis itu kembali bertanya terbawa oleh gaya bahasa yang dibuat si pemuda "Mi Apa?"
Alih-alih menjawabnya dengan kata-kata. Si pemuda menunjuk ke arah pepohonan bambu yang melambai-lambai ditiup angin di bawah bukit tempat sapi-sapi diberi makan. Sambil memandangi wajah gadis belia itu dengan lekat. Tak ada sedikit pun terlintas di benaknya kata-kata untuk menjawab seperti "mi goreng" atau "mi rebus"
(Budi Cahyadi, Penulis Komunitas Rakyat)