Bunga Bank adalah Riba?(bagian 1)

Penulis : Pupun Saepul Rohman, M. E. Sy.(Pendidikan terakhir: S2 Ilmu Ekonomi Syariah STEI TAZKIA. Saat ini sedang menempuh pendidikan S3 Ilmu Ekonomi Islam pada Universitas Airlangga (Unair) Surabaya)

PENDAHULUAN
Ekonomi syariah merupakan ekonomi yang bebas riba. Salah satu bentuk riba adalah bunga bank yang diterapkan oleh bank-bank konvensional.

Apa itu bunga bank? Kenapa para ulama kontemporer mengharamkan bunga bank? Sebelum kita memahami tentang hakikat bunga bank, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu riba. Dan bagaimana kaitannya sehingga bunga bank termasuk kategori riba.

A. PENGERTIAN RIBA
Riba dalam bahasa Arab berarti “bertambah”. Maka segala yang bertambah dinamakan riba. 

Menurut istilah, riba berarti menambahkan beban kepada pihak yang berhutang (dikenal dengan 
riba dayn) atau menambahkan takaran saat melakukan tukar menukar 6 komoditi (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam) dengan jenis yang sama, atau tukar menukar emas dengan perak dan makanan dengan makanan dengan cara tidak tunai (dikenal dengan riba bai’) (Tarmizi, 2013:329).

Mursito (2015) mengutip pendapat Abdul Azhim Badawi dalam kitab Al Wajiz fi al Fiqh as Sunnah yang menyebutkan bahwa riba pada asalnya berarti tambahan, baik berupa tambahan pada objekna sendiri atau tambahan (di luar objek) sebagai ganti terhadap objek tersebut. Sedangkan secara terminologi riba adalah tambahan pada sesuatu yang khusus.
B. SEJARAH RIBA1
Riba merupakan penyakit ekonomi masyarakat yang telah dikenal lama dalam peradaban manusia. Beberapa pakar ekonomi memperkirakan riba telah ada sejak manusia mengenal uang (emas dan perak). Riba dikenal pada masa peradaban Farao di Mesir, peradaban Sumeria, Babilonia dan Asyuriya di Irak, dan peradaban Ibrani Yahudi. Termaktub dalam kitab perjanjian lama bahwa diharamkan orang Yahudi mengambil riba dari orang Yahudi, namun dibolehkan orang Yahudi
mengambil riba dari orang di luar Yahudi.
Tidak dapat dipastikan kebenaran perkiraan di atas kecuali keberadaan riba pada peradaban Yahudi. Karena Al Quran menjelaskan bahwa Bani Israel (umat Nabi Musa ‘alaihis salam) melakukan riba dan Allah pun telah melarang mereka memakan riba. Allah berfirman:
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.”(Q. S. An Nisa: 160-161).
Kemudian umat Yahudi memperkenalkan riba kepada bangsa Arab di Semenanjung Arabia, tepatnya
di kota Thaif dan Yatsrib (kemudian dikenal dengan Madinah). Di dua kota ini Yahudi berhasil meraup keuntungan yang tak terhingga, sampai-sampai orang-orang Arab jahiliyyah menggadaikan anak, isteri, dan diri mereka sendiri sebagai jaminan utang riba. Bila mereka tidak mampu melunasi utang, maka jaminan mereka dijadikan budak Yahudi.
Dari kota Thaif praktik riba menjalar ke kota Makkah dan dipraktikkan oleh para bangsawan kaum Quraisy jahiliyyah. Maka riba marak di kota Makkah. Sebagaimana yang kita ketahui dalam khutbah Rasulullah SAW di Arafah pada haji wada’ beliau bersabda:
“Riba jahiliyyah telah dihapuskan. Riba pertama yang kuhapuskan adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib, sesungguhnya riba telah dihapuskan seluruhnya.” (H. R. Muslim).
Bentuk-bentuk riba yang dilakukan orang-orang Arab jahiliyyah adalah sebagai berikut:
a. Seseorang memberikan pinjaman 10 keping uang emas selama waktu yang ditentukan dengan syarat nanti dibayar sebanyak 11 keping uang emas.
b. Seseorang meminjam 10 keping uang emas, bila jatuh tempo pelunasan dan ia belum mampu membayar, ia mengatakan, “Beri saya masa tangguh, nanti piutang Anda akan saya tambah.”
c. Seseorang memberikan pinjaman modal usaha 100 keping uang emas. Setiap bulannya ia mendapat bunga 2 keping uang emas. Bila telah sampai masa yang ditentukan, si peminjam harus mengembalikan modal utuh sebanyak 100 keping uang emas. Jika ia telat melunasi maka ia harus membayar denda keterlambatan yang terkadang rasionya lebih besar daripada bunga bulanan.
d. Seseorang membeli barang dengan cara tidak tunai. Bila dia belum melunasi hutang pada saat jatuh tempo maka ia harus membayar denda keterlambatan selain melunasi hutang pokok.

Tags

Post a Comment

0 Comments

Top Post Ad

Below Post Ad