Kehidupan ini adalah pilihan.
Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, setiap orang harus memilih apa yang
akan ia pilih untuk menjalani kehidupannya. Apakah ia akan memilih sedikit
tujuan atau banyak tujuan? Keduanya pilihan yang harus diambil. Jika memilih
sedikit tujuan maka sedikit pula pengorbanan yang dinvestasikan untuk mencapai
tujuan tersebut. Sebaliknya, jika memilih banyak tujuan maka segudang investasi
harus disiapkan agar tujuan itu dapat diraih. Semua itu pilihan dan pilihan itu
butuh pengorbanan.
Hijrah sahabat nabi dari Mekah ke
Habasyah satu pilihan yang berlandaskan iman. Usman bin Affan beserta rombongan
memilih hijrah bukan tanpa resiko. Pengorbanan harta benda sudah pasti
mengiringi perjalanan hijrah ke Habasyah. Sanak family yang tertinggal tentu
jadi pertaruhan yang akan menjadi saksi jalannya hijrah. Berat memang, namun
semua itu demi dan untuk pembuktian sebuah keimanan. Tidak dapat ditawar lagi.
Jika perintah sudah dikumandangkan, maka taat dan patuh adalah sebuah kepastian
jawaban. Hati terasa berat tidak dapat dipungkiri, karena mereka pun manusia.
Siapa orang yang tidak berat meninggalkan kampung halaman yang sudah menjadi
teman dari buaian hingga dewasa? Siapa orang yang mau meninggalakan kesenangan
dan menempuh lika-liku tantangan? Berat memang, namun harus memilih. Untuk
tujuan yang besar atau tidak sama sekali.
Amr bin Yasir dan kisah
keislamannya, satu pilihan hidup yang luar biasa. Seorang pemuda dari keluarga
kaya raya yang terketuk hidayah pintu hatinya, dengan tanpa ragu meninggalkan
berbagai kemewahan yang sudah jadi pola keseharian dan mengikrarkan diri masuk
islam. Ia mampu menempatkan kekayaan di tanggannya, ridho hidup sederhana, dan
mengganti kekayaan materi dengan kekayaan
iman yang memenuhi relung hatinya kepada yang Maha Kaya. Sungguh
pengorbanan yang tidak terbantahkan. Ia memilih berpisah dengan ibu kandung
yang sangat dicintai dan dihormatinya, dan memilih bergabung bersama kaum
muslimin, walaupun air mata deras mengalir menjadi saksi betapa berat berpisah
dengan ibu yang sangat dicintai. Semua itu pengorbanan. Pengorbanan yang akan
berbicara tentang kisah kematangan jiwa, kerendahan materi, kelapangan jiwa,
dan kekuatan iman.
Perpisahan Abu Salamah dan Ummu
Salamah kisah sebelum hijrah kubro yang meninggalkan cinta untuk cinta yang
indah dalam kenangan. Cinta kepada istri yang sudah menjadi bagian diri dan
mengaruniainya keturunanan harus disimpan dalam-dalam sebab perintah sudah
ditetapkan. Ia harus mampu menempatkan cinta kepada Allah dan rasulnya di atas
segala-galanya, karena disana bertempat cinta sejati dan abadi. Walaupun secara
manusiawi meninggalkan belahan jiwa dan buah hati yang telah jadi bagian diri
sangat sulit untuk dipisahkan, tetapi Abu Salamah tetap memilih bergabung
dengan barisan kaum muhajirin berangkat ke Madinah, kendati resiko yang ia
terima berupa keterpisahan dengan istri dan anak yang sangat dicintai dan disayanginya.
Apa yang dirasakan Abu Salamah
serasa dengan apa yang ada di dalam dada Ummu Salamah. Ketika rumah tempat
berlindungnya hati, yaitu Abu Salamah, meninggalkannya untuk berangkat hijrah,
remuk redamlah hatinya dan luruhlah air matanya karena ia tertahan keluarganya.
Hari demi hari ia lewati dengan menyendiri di Al-Abthah dengan air mata terus
berlinangan dan doa ia panjatkan agar dapat hijrah dan bertemu kembali suaminya.
Selang kira-kira setahun, kerinduan cinta bersua dengan keluarga akhirnya Allah
pertemukan kembali di Quba’, Madinah. Abu Salamah dan Ummu Salamah akhirnya
mampu meninggalkan cinta untuk sementara waktu
untuk cinta yang lebih mulia dan sejati dalam naungan cinta Illahi.
Di zaman modern, ketika ilmu
pengetahuan menjadi saluran mobilitas vertikal, orang-orang berusaha menempuh
jalan untuk meraih ilmu. Tidak jarang yang meninggalkan kampung halaman dan
orang tua dengan niat menuntut ilmu. Hal ini tentunya butuh pengorbanan.
Terutama kaum hawa yang dengan semangatnya melintasi selat sunda dari pulau
melayu menuju pulau jawa untuk mencari ilmu sekaligus dengan pembiayaan diri
sendiri. Sungguh mengagumkan. Mereka mampu menguatkan jiwa dan raganya untuk
sementara meninggalkan keluarga yang sangat dicintai, menanggalkan kebahagian
lain untuk kebahagiaan menuntut ilmu, dan rela sejenak jauh dari kampung
halaman yang telah menjadi aliran darahnya. Begitu pun kesiapan dan penyiapan
materi yang tak terpisahkan didalamnya butuh diupayakan dan diinvestasikan. Di
tengah pendidikan yang kian ‘dimaterikan’, biaya pendidikan kian mahal sehingga
semakin jelaslah fungsi tersembunyi dari pendidikan yang menjaga kelas-kelas
tertentu saja di dalam masyarakat. Orang miskin seringkali dilarang sekolah.
Maka membiayai diri dengan sepenuh hati, satu upaya yang akan menjadi saksi
niat ikhlas menuntut ilmu. Berat memang.
Namun, untuk sebuah jihad. Jihad mencerahkan diri dan ummat.
Dalam kisah niat tulus untuk
ikatan suci bertemu dengan penolakan juga ada keharusan meninggalkan cinta
sejati untuk cinta suci. Bagi orang yang
berniat menyucikan diri dengan ikatan cinta suci, manakala bertemu dengan penolakan
dalam prosesnya jangan menjadi hal yang melemahkan. Sebaliknya harus sesegera
mungkin meninggalkan cinta sejati untuk cinta suci. Karena mencintai adalah pekerjaan jiwa. Pekerjaan
yang bersumber dari hati nurani terdalam dan kasih sayang-Nya. Ia membebaskan,
setara, mandiri, dan tiada paksaan. Maka ketika penolakan berlangsung dalam
proses janganlah berlarut-larut. Walaupun hati terasa remuk redam karena
terpecah, luka-luka kian menganga yang tak kunjung sembuh juga, dan jiwa
berguncang, tetapi tekad tetap murni selamanya. Karena semuanya adalah
pekerjaan jiwa. Pekerjaan yang mulia. Pekerjaan yang hanya dipahami kebeningan
jiwa. Pekerjaan yang sumbernya kebeningan hati dan tempat kesadaran terdalam,
walaupun terasa bahwa penolakan itu pedih dan membekas luka-lukanya. Berat
memang. Namun, semua adalah pekerjaan jiwa. Pekerjaan untuk menyucikan diri
demi dan untuk kesucian cinta itu sendiri.
Sementara bagi mereka yang
memiliki visi dan misi yang besar, di tengah materi korporasi yang semakin
menyamankan dan penolakan cinta yang melukakan, meninggalkan cinta untuk cinta
jadi pilihan yang utama. Menguatkan visi dan misi dalam rangka mengolah
kepribadian agar tak dipandang sebelah mata, butuh pewujudan dan pengorbanan. Walaupun
harus memutuskan keluar dari kotak korporasi dengan sahabat yang dicintai dan mulai
membangun korporasi sendiri dalam upaya memandirikan financial agar memiliki
posisi strategis dalam kehidupan, butuh pengorbanan menjauh yang tidak berarti
putus. Begitu pun terus berikhtiar menjemput bidadari untuk menyucikan diri
adalah bagian pengorbanan untuk visi dan misi besar yang membutuhkan keikhlasan
untuk melupakan dan memaafkan masa lalu. Berat memang. Namun, semua itu demi
dan untuk dakwah yang lebih luas, kemanfaatan sosial yang merata, politik
kesejateraan, dan tentunya untuk cinta sejati yang suci.
Semua itu kisah hijrah cinta
untuk cinta. Dan betapa kisah hijrah cinta untuk menggapai cinta itu butuh
pengorbanan dan invenstasi yang tidak sedikit.
