Hijrah Cinta Untuk Cinta

Iman Rohiman
0


Kehidupan ini adalah pilihan. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, setiap orang harus memilih apa yang akan ia pilih untuk menjalani kehidupannya. Apakah ia akan memilih sedikit tujuan atau banyak tujuan? Keduanya pilihan yang harus diambil. Jika memilih sedikit tujuan maka sedikit pula pengorbanan yang dinvestasikan untuk mencapai tujuan tersebut. Sebaliknya, jika memilih banyak tujuan maka segudang investasi harus disiapkan agar tujuan itu dapat diraih. Semua itu pilihan dan pilihan itu butuh pengorbanan.
Hijrah sahabat nabi dari Mekah ke Habasyah satu pilihan yang berlandaskan iman. Usman bin Affan beserta rombongan memilih hijrah bukan tanpa resiko. Pengorbanan harta benda sudah pasti mengiringi perjalanan hijrah ke Habasyah. Sanak family yang tertinggal tentu jadi pertaruhan yang akan menjadi saksi jalannya hijrah. Berat memang, namun semua itu demi dan untuk pembuktian sebuah keimanan. Tidak dapat ditawar lagi. Jika perintah sudah dikumandangkan, maka taat dan patuh adalah sebuah kepastian jawaban. Hati terasa berat tidak dapat dipungkiri, karena mereka pun manusia. Siapa orang yang tidak berat meninggalkan kampung halaman yang sudah menjadi teman dari buaian hingga dewasa? Siapa orang yang mau meninggalakan kesenangan dan menempuh lika-liku tantangan? Berat memang, namun harus memilih. Untuk tujuan yang besar atau tidak sama sekali. 
Amr bin Yasir dan kisah keislamannya, satu pilihan hidup yang luar biasa. Seorang pemuda dari keluarga kaya raya yang terketuk hidayah pintu hatinya, dengan tanpa ragu meninggalkan berbagai kemewahan yang sudah jadi pola keseharian dan mengikrarkan diri masuk islam. Ia mampu menempatkan kekayaan di tanggannya, ridho hidup sederhana, dan mengganti kekayaan materi dengan kekayaan  iman yang memenuhi relung hatinya kepada yang Maha Kaya. Sungguh pengorbanan yang tidak terbantahkan. Ia memilih berpisah dengan ibu kandung yang sangat dicintai dan dihormatinya, dan memilih bergabung bersama kaum muslimin, walaupun air mata deras mengalir menjadi saksi betapa berat berpisah dengan ibu yang sangat dicintai. Semua itu pengorbanan. Pengorbanan yang akan berbicara tentang kisah kematangan jiwa, kerendahan materi, kelapangan jiwa, dan kekuatan iman.
Perpisahan Abu Salamah dan Ummu Salamah kisah sebelum hijrah kubro yang meninggalkan cinta untuk cinta yang indah dalam kenangan. Cinta kepada istri yang sudah menjadi bagian diri dan mengaruniainya keturunanan harus disimpan dalam-dalam sebab perintah sudah ditetapkan. Ia harus mampu menempatkan cinta kepada Allah dan rasulnya di atas segala-galanya, karena disana bertempat cinta sejati dan abadi. Walaupun secara manusiawi meninggalkan belahan jiwa dan buah hati yang telah jadi bagian diri sangat sulit untuk dipisahkan, tetapi Abu Salamah tetap memilih bergabung dengan barisan kaum muhajirin berangkat ke Madinah, kendati resiko yang ia terima berupa keterpisahan dengan istri dan anak yang sangat dicintai dan disayanginya.
Apa yang dirasakan Abu Salamah serasa dengan apa yang ada di dalam dada Ummu Salamah. Ketika rumah tempat berlindungnya hati, yaitu Abu Salamah, meninggalkannya untuk berangkat hijrah, remuk redamlah hatinya dan luruhlah air matanya karena ia tertahan keluarganya. Hari demi hari ia lewati dengan menyendiri di Al-Abthah dengan air mata terus berlinangan dan doa ia panjatkan agar dapat hijrah dan bertemu kembali suaminya. Selang kira-kira setahun, kerinduan cinta bersua dengan keluarga akhirnya Allah pertemukan kembali di Quba’, Madinah. Abu Salamah dan Ummu Salamah akhirnya mampu meninggalkan cinta untuk sementara waktu  untuk cinta yang lebih mulia dan sejati dalam naungan cinta Illahi.  
Di zaman modern, ketika ilmu pengetahuan menjadi saluran mobilitas vertikal, orang-orang berusaha menempuh jalan untuk meraih ilmu. Tidak jarang yang meninggalkan kampung halaman dan orang tua dengan niat menuntut ilmu. Hal ini tentunya butuh pengorbanan. Terutama kaum hawa yang dengan semangatnya melintasi selat sunda dari pulau melayu menuju pulau jawa untuk mencari ilmu sekaligus dengan pembiayaan diri sendiri. Sungguh mengagumkan. Mereka mampu menguatkan jiwa dan raganya untuk sementara meninggalkan keluarga yang sangat dicintai, menanggalkan kebahagian lain untuk kebahagiaan menuntut ilmu, dan rela sejenak jauh dari kampung halaman yang telah menjadi aliran darahnya. Begitu pun kesiapan dan penyiapan materi yang tak terpisahkan didalamnya butuh diupayakan dan diinvestasikan. Di tengah pendidikan yang kian ‘dimaterikan’, biaya pendidikan kian mahal sehingga semakin jelaslah fungsi tersembunyi dari pendidikan yang menjaga kelas-kelas tertentu saja di dalam masyarakat. Orang miskin seringkali dilarang sekolah. Maka membiayai diri dengan sepenuh hati, satu upaya yang akan menjadi saksi niat ikhlas menuntut ilmu.  Berat memang. Namun, untuk sebuah jihad. Jihad mencerahkan diri dan ummat.
Dalam kisah niat tulus untuk ikatan suci bertemu dengan penolakan juga ada keharusan meninggalkan cinta sejati untuk cinta suci.  Bagi orang yang berniat menyucikan diri dengan ikatan cinta suci, manakala bertemu dengan penolakan dalam prosesnya jangan menjadi hal yang melemahkan. Sebaliknya harus sesegera mungkin meninggalkan cinta sejati untuk cinta suci.  Karena mencintai adalah pekerjaan jiwa. Pekerjaan yang bersumber dari hati nurani terdalam dan kasih sayang-Nya. Ia membebaskan, setara, mandiri, dan tiada paksaan. Maka ketika penolakan berlangsung dalam proses janganlah berlarut-larut. Walaupun hati terasa remuk redam karena terpecah, luka-luka kian menganga yang tak kunjung sembuh juga, dan jiwa berguncang, tetapi tekad tetap murni selamanya. Karena semuanya adalah pekerjaan jiwa. Pekerjaan yang mulia. Pekerjaan yang hanya dipahami kebeningan jiwa. Pekerjaan yang sumbernya kebeningan hati dan tempat kesadaran terdalam, walaupun terasa bahwa penolakan itu pedih dan membekas luka-lukanya. Berat memang. Namun, semua adalah pekerjaan jiwa. Pekerjaan untuk menyucikan diri demi dan untuk kesucian cinta itu sendiri.
Sementara bagi mereka yang memiliki visi dan misi yang besar, di tengah materi korporasi yang semakin menyamankan dan penolakan cinta yang melukakan, meninggalkan cinta untuk cinta jadi pilihan yang utama. Menguatkan visi dan misi dalam rangka mengolah kepribadian agar tak dipandang sebelah mata, butuh pewujudan dan pengorbanan. Walaupun harus memutuskan keluar dari kotak korporasi dengan sahabat yang dicintai dan mulai membangun korporasi sendiri dalam upaya memandirikan financial agar memiliki posisi strategis dalam kehidupan, butuh pengorbanan menjauh yang tidak berarti putus. Begitu pun terus berikhtiar menjemput bidadari untuk menyucikan diri adalah bagian pengorbanan untuk visi dan misi besar yang membutuhkan keikhlasan untuk melupakan dan memaafkan masa lalu. Berat memang. Namun, semua itu demi dan untuk dakwah yang lebih luas, kemanfaatan sosial yang merata, politik kesejateraan, dan tentunya untuk cinta sejati yang suci.
Semua itu kisah hijrah cinta untuk cinta. Dan betapa kisah hijrah cinta untuk menggapai cinta itu butuh pengorbanan dan invenstasi yang tidak sedikit.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default