BERKAH CINTANYA

Iman Rohiman
0
8 jANUARI 2008
1
BERKAH CINTANYA
Keningnya mengkerut penuh dengan kabut. Wajahnya muram, hitam, ragu kemana kakinya akan melangkah. Angannya melayang-layang menerawang gelap yang menuntunnya pada kebuntuan. Perasaannya hampa, hidup penuh dengan misteri yang tak dapat dan tak mungkin dijelaskan dengan pasti. Perjalanannya memang tak mudah ditebak. Walaupun sudah mati-matian direncanakannya. Walaupun pikirannya sudah habis dicurahkan. Walaupun energinya sudah tak terhitung difokuskan. Tujuan yang ingin dicapainya jalannya tak semulus yang dinginkan. Dibalik rencananya ada kekuatan yang tidak bisa dijabarkan dengan akal secara purna. Dibalik pikirannya ada kekuasaan sang Maha Pencipta. Dialah yang mengenggam setiap mahluk. Dialah yang mengatur segala urusan setiap mahluk. Dialah yang mencukupi semua kebutuhan mahluk. 

Ketakutan mengurung bening pikirnya. Ketakutan tak seharusnya digugu dan ia jadikan hiasan. Ketakutan hanya menambah suram rencana masa depannya. Ketakutan hanya melahirkan ketidakjelasan karena sibuknya dengan angan-angan. Ketakutan hanya menambah suasana galau dalam hatinya. Ketenangan susah diraihnya. Ketentraman tak menemani perasaannya. Hatinya kian cemas dan pikirannya pun berkarat.
Itulah yang dialami Irfan Hakim. Sudah seminggu wajahnya murung, mukanya pucat, semangatnya kian melemah. Setiap hari ia duduk melamun mengenang nasibnya yang ia rasakan terasa pedih, kalut. Hatinya betapa ia rasakan begitu amat jauh dari ketenangan. Jiwanya tak tentram. Batinnya gelisah. Perasaan bimbang berputar-putar dalam ingatannya menambah rasa ngilu yang terasa menusuk kalbu. Penderitaan-penderitaan jadi teman setia hari-hari yang ia lalui.

Di dalam kamar rumah kontrakan, air matanya mengalir. Bagaimana bisa ia bertahan menyelami kehidupan dengan perjuangan kesendirian. Hidup sebatang kara tanpa orang tua maupun sanak saudara. Bagaimana ia dapat bersua mengungkapkan berjuta-juta masalah. Kerasnya hidup. Ketatnya persaingan. Perjuangan tanpa akhir untuk hanya sekedar bertahan hidup. Memang membuat setiap orang menjadi lemah ditengah kesendirian. Siapa orang yang mampu bertahan dengan kesendirian. Berjuang seorang diri. Tak seorang pun mampu menyelami samudra hidup seorang diri. Sehebat apapun orangnya. Sepintar apapun orangnya. Sekaya apapun orangnnya. Sekuat apapun orannya. Tak akan pernah ada yang mampu. Air matanya mengadu. Tapi mengadu pada siapa.
Dalam tangisnya ia berkata, ”Ah, hidup ini terasa hambar. Apakah kucuran keringatku hanya akan berbuah nestapa”. Batinnya lirih mengusap-usap nasib. Batinnya terus mengeluh dan mengaduh. Tak ada tempat berlambuh. Tak ada tempat bersimpuh.
Dalam tangisnya ia teringat awal masuk kuliah. Kedua orang tuanya yang hanya memiliki sepetak sawah, sepetak kebun dan sebuah kolam, telah menjual semuanya. Dengan tujuan agar Irfan dapat membayar uang pendaftaran masuk kuliah berikut SPP. Dengan harapan Irfan dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi dan dengan harapan yang tinggi pula agar Irfan dapat merubah nasib menjadi lebih baik.

Mengingat itu air mata Irfan semakin deras mengalir. Tangisnya tak berhenti. Tangisnya semakin tersedu-sedu. Ditambah ingatannya akan kedua orang tuanya yang telah tiada. Kepedihan semakin terasa nyeri di ulu hati.
“Apakah pengorbanan kedua orang tua akan sia-sia?”
“Apakah mungkin aku dapat membalas kucuran keringatnya, kerja kerasnya?”
“Dengan apa aku dapat membalas segala kasih sayangnya, jasa-jasanya?”
“Duh ibu! Duh ayah! Kini engkau telah tiada.”
Lirihnya mengalun sendu.

Ayahnya meninggal ketika Irfan baru dua tahun kuliah. Dan setelah itu, ibunya pun menyusul ayahnya kira-kira enam bulan setelah kepergian ayahnya. Betapa batinnya terpukul. Disaat masa-masa kuliah sedang asyik dirasakan demi untuk memenuhi cita-citanya, harapan orang tuannya, kedua orang yang dicintainya pergi untuk selama-lamanya. Kini Irfan tinggal sendiri. Berjuang sendiri. Menghadapi hidup sendiri. Karena ia anak satu-satunya. Hanya saja pesan kedua orang tua yang selalu terngiang ditelinganya tak pernah ia lupakan dan senantiasa mendorong untuk tetap semangat menjalani kehidupan. Kedua orang tuanya pernah berpesan, “Fan, jadilah kau seorang sarjana yang baik, jujur, disiplin, dan ketika kau mengamalkan ilmumu amalkan dengan ikhlas hanya mengharap ridho-Nya. Ibu dan ayah sangat bahagia jika Irfan dapat hidup lebih baik dari keadaan ibu dan bapakmu sekarang. Dan jangan pernah lupakan agama walau hanya sedetik. Karena agamalah yang dapat menuntun hidup dan mengantar keberkahan.”

Kalau mengingat pesan kedua orang tuanya jiwanya bisa semakin lunglai. Semangatnya perlahan padam mengubur harapan keberhasilan yang akan membahagiakan kedua orang tuanya. Walaupun kedua orang tuanya tidak dapat ditatap lagi. Tetapi ia harus memenuhi harapan orang tuanya. Kasih sayang orang tuanya yang terus mengalir tanpa pernah berhenti dan doanya yang dipanjatkan dahulu tetap menemani keharusan dirinya untuk menunaikah harapan itu. Hanya dengan memenuhi pesan itu ia mungkin dapat membalasnya. Hanya dengan menjadi anak yang soleh dan berbakti mungkin itu satu-satunya cara yang bisa ia tempuh.
Semenjak kedua orang tuanya meninggal. Irfan dengan sepenuh tenaga mati-matian mencari rezeki dengan tujuan agar kuliah tetap dapat diselesaikan dan makan dapat tercukupi.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia bekerja part time di toko buku “Hikmah”. Jam kerjanya dari pukul empat sore hingga jam sembilan malam. Hari minggu ia libur. Dengan gaji lumayan. Tiap bulan ia mendapat uang enam ratus ribu. Tiga ratus ribu ia gunakan untuk mencukupi kebutuhan makan dan keperluan kuliah. Seratus ribu ia sisihkan untuk membayar kontrakan rumah. Dan dua ratus ribu ia tabung untuk kebutuhan spp semesteran. Dari gaji inilah Irfan bisa bertahan hidup. Walaupun kadang pas-pasan dan kadang harus pinjam ke teman. Bahkan seringkali ia harus berpuasa untuk menghemat. Walaupun nuraninya kadang berkata, “Apakah puasa dalam keadaan tidak memiliki uang bisa diterima amalnya?” Namun mau bagaimana lagi. Hanya itu jalan yang kadang-kadang harus ia tempuh demi mengejar harapan hari esok yang lebih cerah. Disamping itu, ia pun berusaha mencari rezeki dengan menerima pesanan kaos, jaket, plakat, stiker, spanduk, untuk kemudian ia antarkan ke toko “Cepat Jaya”. Jadi ia hanya sebagai agen. Itulah kesibukan sehari-harinya. Hanya untuk bertahan hidup tidak lebih.

Di kamar kos ia masih termenung. Duduk di kursi belajar berwarna cokelat. Kursinya terbuat dari kayu. Meskipun terbuat dari kayu, lamunannya terasa nyaman menemani. Pandangannya sesekali kosong. Matanya menatap tapi tak tahu apa yang ditatap. Arah pandangannya menembus jendela, berhembus mengikuti pepohonan kering di pegunungan. Kedua matanya mengarah ke Gunung Manglayang lewat jendela kamarnya yang kebetulan menghadap arah gunung.

Di depan jendela, burung-burung bertengger di pohon akasia. Bulu-bulunya abu-abu, sepasang kakinya hitam, menambah hitam pikirnya. Suaranya yang bercericit dari mulutnya seakan menjepit luasnya dunia. Suaranya mengantarkan lagu-lagu keraguan yang menambah kesedihannya. Syai-syair yang didendangkan mengabarkan cerita orang-orang yang gagal menghadapi persaingan. Burung-burung mengenapi kehampaan yang dihadapinya.

Dalam renung ia mengingat sidang sarjananya yang sebulan lagi akan dilaksanakan. Dan dua minggu kemudian ia akan diwisuda. Akalnya semakin kecut. Tak ada keberanian bergelora dalam dirinya. Tak ada harapan menjulang tinggi dalam dadanya. Dirinya merasa kerdil. Dadanya terasa sesak. Mengingat biaya sidang sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah ditambah biaya wisuda sebesar empat ratus ribu jadi total enam ratus lima puluh ribu. Dari mana ia dapat memenuhi kebutuhan sebanyak itu. Kalau mengandalkan gaji dari menunggu toko harus menunggu satu bulan gajian baru ia dapat membayarnya. Itupun kalau ia berpuasa selama satu bulan berturut-turut. Uang sebanyak itu bagi mahasiswa yang hidup sebatang kara sepertinya sangat sulit untuk dicapai. Mungkinkah ia dapat meraih gelar sarjana yang sangat diharapakan oleh kedua orang tuanya dahulu. Betapa kedua orang tuanya telah habis-habisan menjual segala yang dimilikinya hanya untuk kesuksesan anaknya. Akankah semua harapan orang tuanya dapat dipenuhinya. Akankah cinta-Nya mengalir menyejukkannya.
***

“Tok”, “Tok“ suara pintu berbunyi.
“Assalamual'aliakum! Ini Amin Kang”.
Tersentak lamunan Irfan.
“Wa'alaikumussalam” “Tunggu sebentar” jawabnya. Tangannya mengambil handuk dan menyeka air matanya. Wajahnya berkaca pada cermin. Setelah yakin tak ada bekas kesedihan dimatanya ia berdiri, membuka kunci dan menarik gagang pintu.
“Masuk Min” Irfan mempersilahkan.
Amin masuk kemudian ia membuka percakapan.
“Gimana sidangnya Kang? Kata teman-teman sebentar lagi mau sidang. Sudah siap jadi sarjana nih!” nadanya penuh harapan.
“Insya Alloh satu bulan lagi. Kalau tidak ada halangan. Karena kemarin Kang Irfan mendapatkan jadwal sidang November ini ” jawab Irfan dengan senyum dipaksakan.
“Wah, sebentar lagi kalau begitu. Selamat ya Kang. Jangan lupa nanti syukurannya ditunggu. Makan-makan, makan-makan!”
“Ah Min, jangankan traktir orang, buat diri sendiri aja kadang belum bisa. Ya belum bisa memberikan kesenangan pada diri sendiri kalau dapat kebahagiaan. Tapi kalau ada rezeki lebih insya Alloh diusahakan. Ya empat tahun sekali traktir ga apa-apalah”
“Nah! Amin pegang janjinya ya. Tapi harus serius cari uang buat traktirnya. Amin tunggu. Mudah-mudahan Alloh memberi rezeki.”
“Sudah ada peluang belum Kang. Habis lulus mau kemana?”
Irfan menarik nafas dalam-dalam.
“Itulah Min, sampai sekarang Kang Irfan belum ada peluang mau kemana habis lulus. Baik peluang yang sesuai dengan jurusan maupun pekerjaan apa saja yang penting halal. Barangkali Amin punya kenalan, saudara atau informasi tentang peluang kerja. Mungkin Amin punya? ”
“Sama Kang, ga tahu”
“Oh ya, ada apa Min pagi-pagi seperti ini”
Dengan nada sedikit malu Amin mengutarakan maksud kedatangannya.
“Begini Kang, sebelumnya mohon maaf. Ini berkaitan dengan uang yang dipinjam Akang tiga bulan lalu. Sekarang sudah jatuh tempo. Dan Amin sangat mebutuhkan uang itu Kang. Sekali lagi Amin mohon maaf”

Irfan baru ingat. Bahwa tiga bulan lalu ia meminjam uang pada Amin satu juta dua ratus ribu. Waktu itu Irfan tak bisa membayar SPP, karena tabungan yang disisihkan dari gajinya untuk anggaran SPP terpakai semua untuk keperluan skripsi sehingga ia pinjam ke Amin. Dan gajinya tiap bulan waktu itu belum jatuh tempo. Sehingga ia terpaksa meminjam pada Amin.
Amin selama tinggal sekontrakan sering membantu Irfan. Jika Irfan sangat terdesak butuh uang ia tak pernah menolaknya. Mungkin karena ia berkecukupan bahkan berlebih. Irfan pun tak pernah sungkan untuk meminjam uang padanya. Tak pernah sekalipun Amin menolak. Ketika Irfan butuh untuk uang semesteran, uang makan, uang buat bikin tugas, atau beli buku kuliah, tanpa pernah menunggu waktu Amin langsung memberikannya. Namun Amin memiliki kebiasaan selalu memberikan tempo untuk mengembalikan uang yang dipinjamkannya, pada siapa saja, termasuk Irfan. Ketika sudah jatuh tempo ia selalu mengingatkan. Dan hari ini Amin mengingatkan Irfan. Katanya agar yang meminjam bisa terpacu untuk mengembalikan pinjaman. Supaya tidak terlena dan bermalas-malasan.
“Min! Kang Irfan juga mohon maaf. Kang Irfan lupa jika hari ini sudah jatuh tempo” jawabnya lesu.
“Min, kalau boleh tahu, kebutuhan Amin benar-benar mendesak nggak?”
“Empat hari lagi Kak, Amin butuhnya”
“Empat hari” bisik batinnya. Dalam tempo empat hari ia harus melunasi hutangnya. Sementara disakunya ia hanya punya uang dua ratus ribu sisa keuntungan pesanan plakat dan pin tiga hari lalu. Sementara gajinya baru akan ia terima besok. Kalau dijumlah maka besok ia punya uang delapan ratus ribu. Sehingga ia tinggal mencari uang empat ratus ribu lagi.
“Boleh Kang Irfan minta tempo empat hari lagi. Dalam tempo empat hari Kang Irfan usahakan untuk melunasi uang yang dipinjam? Karena disaku Kang Irfan hanya punya dua ratus ribu dan besok Insya Alloh dapat enam ratus dari gaji. Gimana Min! Insya Alloh Kang Irfan akan usahakan” katanya menegaskan”
“Ya,ya. Amin tunggu empat hari lagi” tanpa bertanya sisa empat ratus ribu lagi dari mana Irfan mendapatkannya.
“Terimakasih Min!”
“Sama-sama Kang”
Amin keluar dari kamar Irfan. Kemudian ia pergi ke luar rumah dengan membawa janji Irfan bahwa empat hari lagi uangnya akan dikembalikan.
Sementara Irfan duduk bingung. Pikiran Irfan berputar-putar di kamarnya. Pikirannya terus ia fokuskan untuk mencari jalan bagaimana ia dapat melunasi hutangnya pada Amin. Kalau uang delapan ratus ribu yang bisa terkumpul besok dari sisa uang yang ia miliki ditambah gaji nunggu toko ia bayarkan semuanya maka ia akan makan apa sebulan kedepan. Itupun kalau dalam waktu empat hari ia dapat mengumpulkan uang empat ratus ribu. “Uang empat ratus ribu. Oh, bagaimana aku mendapatkannya! Bagaimana aku akan makan sebulan ke depan!“ hatinya turut berpikir.
Terbersit harapan dalam pikirannya, “Bagaimana kalau aku coba pinjam pada Kang Rahmat! Barangkali ia punya uang.”
Satu jalan sudah ia temukan. Ia kemudian keluar kamar. Kebetulan kang Rahmat berada diruang tengah. Ruang tengah yang biasa digunakan untuk rapat, diskusi, atau sekedar ngobrol ngaler ngidul, atau melihat tayangn televisi. Ia sedang sendirian nonton berita. Sementara Hisyam dari kemarin sore hingga pagi ini beum pulang. Katanya mau mengerjakan tugas kelompok di kosan temannya.
“Kang!” Irfan mendekati tempat duduk Rahmat.
“Ya” jawab Rahmat.
“Boleh mengganggu sebentar. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan”
“Ada apa, Fan” tangannya mengambil remot TV dan mengecilakan volume TV. Kemudian ia palingkan wajahnya ke arah Irfan.
“Kang, Irfan butuh uang. Butuh empat ratus ribu. Buat bayar utang”
“Butuhnya kapan. Kalau butuh dalam minggu ini Kang Rahmat tidak punya. Uang kang Rahmat baru saja dibayarkan buat biaya sidang dan wisuda kemarin. Kang Rahmat hanya punya uang buat makan, sampai menunggu kiriman minggu depan atau honor asisten. Kalau minggu depan Insya Alloh dapat membantu”
“Butuhnya empat hari lagi Kang”
“Empat hari lagi. Kalau begitu coba dulu ke Si Hisyam, barangkali ia punya. Sambil Kang Rahmat usahakan cari pinjaman”
“Empat hari lagi ya!”
“Iya Kang”
***
Satu jam Irfan menunggu kedatangan Hisyam di ruang tengah. Namun belum muncul juga batang hidungnya. Satu jam menunggu rasanya seperti satu tahun Irfan menunggu. Irfan merasa menunggu sesuatu yang diharapkan bisa menyelesaikan masalah seperti menunggu hujan di musim kemarau. Akan sangat jarang ditemukan. Akan sulit diharapkan. Kesal menumpuk didadanya bercampur dengan semunya harapan.
Lima menit berikutnya Hisyam pulang. Matanya agak terlihat merah. Mungkin ia begadang menyelesaikan tugas kelompoknya. Dengan langkah gontai ia berjalan masuk rumah. Tampak lesu tubuhnya.
“Nah yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga” gumam Irfan.
“Dari mana saja Syam. Aku menungggu lama nih.” Irfan meluapkan kejengkelannya.
“Tumben menungguku. Tak ditunggu pun aku akan datang kesini. Ibarat burung yang terbang pasti akan kembali ke sangkarnya” canda Hisyam.
“Memangnya ada apa menungguku. Ada hal penting apa gerangan tuan muda” Hisyam menabur candanya
“Ini serius Syam” nada jengkel Irfan agak meninggi.
“Aku lebih dua rius Juragan”
Irfan tak melademi canda Hisyam.
“Duduk sini Syam. Kang Irfan butuh bantuanmu, seandainya tak merepotkan”
“Jelaskan lebih detaillah jangan bertele-tele begini. Kayak sinetron aja?”
“Kang Irfan butuh uang Syam empat ratus ribu buat bayar utang ke Amin. Sudah tiga bulan dipinjam dan sekarang jatuh tempo. Hutang Kang Irfan padanya satu juta dua ratus dan Kang Irfan Insya Alloh besok bisa mengumpulkan delapan ratus ribu lagi. Jadi kurangnnya empat ratus ribu lagi. Karena Kang Irfan tadi menjelaskan bahwa Kang Irfan hanya punya uang delapan ratus ribu si Amin ngasih waktu empat hari lagi untuk melunasinya” Mata Irfan berkaca-kaca.
Wajah Hisyam berubah serius.
“Maaf kang tadi Hisyam bercanda”
“Ga apa-apa”
“Kang bukannya Hisyam nggak mau membantu. Uang hisyam kemarin habis dipake biaya kerja kelompok. Kalau minggu depan Insya Alloh Hisyam bisa bantu. Karena uang baru dikirim minggu depan. Ga bisa minta satu minggu lagi ke Amin untuk menungggu?”
“Itulah. Amin butuh uangnya empat hari lagi. Dan katanya ga bisa ditunda lagi”
“Gimana ya Kang. Ada uang disaku paling cukup untuk biaya makan satu minggu”
“Ya, ga apa-apa ga usah dipirkan kalau gitu. Hisyam mau mendengarkan juga sudah cukup. Terimakasih ya Syam”
Irfan kembali ke kamarnya. Ia duduk di kursi. Raut mukanya semakin tampak kalut. dan tatapannya pun kembali kosong.
“Oh ya Alloh. Kenapa dunia ini terasa sempit. Masihkah ada setetes harapan dari-Mu agar aku dapat melunasi hutang. Bukankah Engkau yang Maha Pemberi Rezeki ya Alloh. Kepada siapa lagi aku mengadu. Ibu dan Ayah tlah tiada. Ya Alloh tak ada yang bisa menolongku selain Engkau” rintihan batinnya memelas.
Kesusahan memang seringkali membuat dunia seakan-akan sangat sempit. Pikiran tidak jernih lagi karena debu ketakutan menghantui. Masalah yang seenarnya kecil bisa membesar dan dianggap sudah tidak mampu terselesaikan. Demikian apa yang dialamai Irfan. Setelah ia berusaha meminta bantuan pinjaman uang kepada Rahmat dan Amin.







2
Memburu kesempatan membutuhkan tenaga yang ekstra keras. Sekejap lengah, maka kesempatan dapat meninggalkan keinginan dan harapan yang diidamkan. Setiap kesempatan hanya hadir satu kali. Keseriusan dalam niat untuk meraih kesempatan dapat menjadi kunci untuk mendapatkan kesempatan tersebut. Namun demikian, pencurahan seluruh tenaga dan pikiran harus mendapat porsi yang utuh tanpa dipotong-potong dengan ragu. Pencurahan tenaga dan pikiran harus bersinergi dengan keikhlasan. Karena tanpa keiklasan apalah gunanya pontang panting kita berkerja siang malam membanting tulang. Tak ada gunanya mata yang dikuatkan untuk tetap mengiringi kerja, walaupun rasa kantuk tak tertahankan lagi. Tak akan bernilai keringat yang bercucuran membasahi raga, hanya akan menambah peluh jiwa, jika keikhlasan tak diperhatikan. Waktu akan terbuang percuma begitu saja tanpa berbekas nilai pahala disisi-Nya jika niat kita tidak ikhlas mengejar ridho-Nya.
Kesempatan datang seringkali tak diundang. Muncul begitu saja dikala lapang mengisi ruang. Dan hadir menghampiri disaat semua jalan ikhtiar sudah habis dilahap dengan hati penuh berharap pada-Nya. Sulit ditebak kapan datangnya. Apakah datang pagi, siang, atau malam. Tak seorang pun bisa dan yakin dengan pasti pada waktu dan hari tertentu kesempatan bisa datang. Datangnya tidak seperti mentari yang pasti menyinari dan dinanti di siang hari atau rembulan yang bercahaya di saat bulan purnama malam hari. Namun ia hanya bisa diyakini dengan keimanan bahwa setiap segala sesuatu ada jalannya. Allah telah membentangkan semua jalannya di dunia. Hanya saja jalan-jalan yang ia bentangkan harus dicapai dengan ikhtiar maksimal, doa, dan tawakal. Maka bertebaranlan kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung (Aljumuah)
Disinilah tersingkap bahwa mahluk benar-benar sangat lemah. Tak punya daya dan kekuatan kecuali hanya milik-Nya. Kalau saja manusia selurunya berkumpul dan jin seluruhnya berkumpul untuk melakukan sesuatu maka ia tidak dapat melakukan sesuatu itu tanpa ijin-Nya. Daya dan kekuatan adalah milik-Nya. Kesombongan dan keangkuhan adalah milik-Nya. Tak berhak seorang manusia bersifat angkuh. Tak berhak seorang manusia bersifat sombong berjalan dimuka bumi ini. Untuk meraih satu kesempatan saja ia tak mampu memastikannya. Apalagi sesuatu yang lebih besar dari itu. Hanya janji Allah bahwa tidak ada yang dapat merubah keadaan suatu kaum kecuali mereka merubah keadaan dirinya sendiri(Arad :11)
Setiap kesempatan tak ada yang gratis. Perjuangan selalu menghiasi dan menjadi investasi yang harus ditanamkan untuk meraihnya. Ada karya ada investasi yang ditanamkan. Jadi seorang Presiden ada investasi yang dikeluarkan. Sukses jadi seorang pengusaha ada investasi yang ditukarkan. Sukses jadi seorang sarjana ada disiplin yang diperjuangkan. Semua prestasi yang diraih sesuai dan sebanding dengan investasi yang ditanammkan. dikeluarkan, ditukarkan, dan diperjuangkan. 
***
Satu jam berlalu. Mentari sudah naik sepenggalahan. Irfan masih diam terpaku dikamarnya. Hatinya masih diliputi bimbang. Irfan kemudian segera tersadar dan segera mengambil air wudhu. Disaat-saat seperti ini wudhu dan mengingat-Nya adalah obat pelipur lara. Ia kemudian shalat Duha empat rakaat. Setelah itu ia berdoa menengadahkan tangan ke langit dengan sudut mata berderai air mata ,”Duhai Allah yang Maha Pemberi Rezeki! Engkaulah yang Maha Tahu setiap kebutuhan hamba-Mu. Engkaulan yang memberi jalan kemudahan bagi hamba-Mu. Engkaulah yang Maha Mencukupi kebutuhan hambamu. Ya Alloh Engkau tahu masalah yang sedang hamba hadapi. Ya Alloh jangan Engkau timpakan ujian yang hamba tidak sanggup menanggungnya. Ya Allah mudahkan dalam mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan hamba ini. Engakulah Ya Alloh yang dapat mencukupinya. Ya Alloh Engkaulah satu-satunya yang berhak untuk dimintai pertolongan.” 
Setelah selesai berdoa, Irfan kemudian mencoba berpikir bagaimana mendapatkan uang. Beberapa menit berlalu, kemudian Irfan menemukan secercah cahaya harapan. Menurutnya ia harus mencoba untuk mengajukan diri untuk menunggu Warung Internet (Warnet) “Kita”. Warnet yang keberadaanya kira-kira dua ratus meter dari toko buku yang ia jaga. Ia ingat bahwa seminggu yang lalu Zali yang masih teman satu angkatan dengannya dan sekarang ia pun bekerja di warnet “Kita”, bercerita bahwa sembilan hari lagi salah seorang pekerja di warnet “Kita” akan berhenti dari pekerjaanya, sehingga dibutuhkan pekerja untuk menggantinya. Sekarang sudah satu minggu. Berarti tinggal dua hari lagi waktu yang ada. Dengan segera Irfan beranjak dari tempat shalatnya. Kakinya kemudian ia niatkan untuk melangkah mencari karunia-Nya. Ia pun keluar dari rumah kontrakannya. “Bismillahi tawakaltu alalloh. Lahaula wala Kuwata illa Bilalhialiyi adzim.”

***
Sepuluh menit berlalu meninggalkan rumah kontrakan. Dengan penuh harap diselimuti galau Irfan berusaha berjalan dengan tenang. Langkah kakinya mengayuh silih beganti. Tiap satu langkah disusul dengan langkah lain yang terlihat berat memikul beban. Bunyi langkahnya terdengar sendu mengisyaratkan kemurungan jiwa. Syairnya menyayat-nyayat hati membuat dirinya perih. Celana katun berwarna hitam turut berduka cita menemani langkahnya. Wajahnya tampak seperti kuncup bunga layu. Tak ada senyum optimisme dibibirnya.
Ditengah perjalan tak sengaja ia berpapasan dengan seorang pedagang baso ikan. Kurang lebih sepuluh meter jaraknya. Irfan memperhatikan paman yang memikul itu. Di usianya yang separuh baya paman ini masih bergelut dengan kerja keras. Pikulan baso ikan itu kira-kira beratnya lima puluh kilogram. Dari pagi hingga malam biasanya paman itu mengelilingi Jatinangor. Berputar-putar hingga baso ikannya habis terjual. Siang bisa habis terjual. Sore bisa habis terjual. Bahkan kadang-kadang hingga malam baso ikannya belum habis terjual. Tentu akan sangat pegal pundaknya jika seharian ia memikul barang dagangannya. Hanya orang-orang yang memiliki mental baja yang sanggup bertahan mencari sesuap nasi lewat pekerjaan seperti ini. Ia merasa hormat padanya harus dilakukan oleh siapapun. Apalagi seorang mahasiswa yang kerjanya hanya bolak-balik kampus dengan satu kepentingan mencarai ilmu, sementara biaya hidup kebanyakan dikirim oleh orang tua. Ditambah gaya hidup yang serba mewah dan tak mengenal kata hemat. Makan dan minum semaunya tanpa mau sadar bahwa uang yang dikirim itu adalah hasil kerja keras orang tuanya. Sementara pedagang baso ikan bisa menghidupi dirinya tanpa meminta-minta dengan kerja yang dilakukannya. Itulah nilai kehormatan kemandirian. Ukuran kehormatan bukanlah diukur dengan status mahasiswa atau bukan. Apa gunanya gelar tanpa kemandirian. Apa manfaat gelar tanpa adanya karya. 
Timbul ide dalam pikiran Irfan. “Apakah mungkin jalan untuk memenuhi sisa biaya sidang dan wisuda dengan menjual baso ikan. Kira-kira berapa uang yang bisa dihasilkan dari berjualan baso seperti ini. Apakah bisa menghasilkan uang empat ratus lima puluh ribu dalam waktu tiga minggu dengan berjualan baso ikan? Seandainya bisa maka jalan ini bisa dicoba.” Otaknya terus mengalkulasi peluang yang mungkin ada.
Ia kemudian mencoba mencari tahu seperti apa menjual baso ikan itu. Maka ia berniat membeli baso ikan. Sambil membeli baso ikan ia dapat bertanya tentang apa saja yang berkaitan dengan baso ikan. Mulai dari ongkos untuk membuat tanggungan, panci, kompor, bumbu dan bagaimana proses menyajikannya.
“Paman, beli baksonya!”
“Ya,ya!” Jawab Paman itu. Tanggungan yang dipikulnya diturunkan dari pundaknya. Kursi kecil ia ambil dari sisi kanan tanggungan dekat panci tempat dimana baso ikan disimpan dan diletakan tepat di tengah antara tanggungan yang dipikulnya. Kemudian paman itu menduduki kursi kecil.
Paman itu bertanya pada Irfan. “Mau berapa?”
“Tiga ribu” Jawab Irfan.
“Mau disini atau dibungkus?”
“Dibungkus paman.”
Tutup panci berisi baso ikan diangkat kemudian paman itu mengambil plastik. Diambilnya enam buah baso ikan dari panci satu persatu langsung dimasukan ke dalam kantong plastik tempat membungkus.
Disela-sela kesibukan penjual baso ikan. Irfan berkenalan dengan penjual itu.
“Paman boleh tahu nama paman?”
“Oh, ya. Nama paman Karman.”
“Sudah lama paman berjualan ?”
“Lama De. Kira-kira lima tahun berjualan. Pertama berjualan didaerah Taman Sari. Disana berjualan selama dua tahun. Namun setelah dua tahun ternyata para pedagang semakin banyak disana. Sehingga keuntungan yang dulu cukup banyak sedikit-demi sedikit semakin berkurang. Karena jualan disana dirasa akan menurun, maka pindah berjualan ke Jatinangor.
“Jadi disini sudah tiga tahun?”
“Kira-kira hampir tiga tahun”
“Hasil penjualannya bagus?”
“Alhamdulillah yang beli disini cukup banyak. Sampai sekarang hampir tiap hari baso habis terjual. Walau kadang sisa. Tapi itu dapat dihitung. Tidak terlalu sering.”
“Wah berarti prospeknya cukup bagus. Maaf, kalau boleh tahu berapa laba yang didapat dari penjualan sehari-hari. Apakah bisa mencapai dua puluh ribu tiap harinya?”
Dengan lugas dan tanpa pamrih paman itu menjawab
“Kalau dirata-ratakan setiap hari lima puluh lima ribu keuntungan dari penjualan baso. Itu bersih. Sudah dipotong kebutuhan makan.”
“Kalau biaya untuk buat pikulannya berapa?”
“Kalau ini biayanya sekitar dua ratus lima puluh ribu.”
“Paman, boleh nggak kalau saya suatu saat bisa jualan seperti paman dan basonya ngambil dari paman berikut racikan bumbunya.”
“Oh, boleh... boleh...Nanti kalau mau, datang saja ke pondok Aroemba, alamatnya Ciseke Besar Nomor 23 RT/RW 02/02. Ciri-ciri pondoknya bercat hijau muda. Di pondok ini semua pedagang baso ikan berkumpul. Tinggal nanya, nama paman nanti.”
“Terimakasih paman. Terima kasih banyak.”
“Sama-sama.”
Irfan merasa jualan baso ikan bisa dicoba. Kalau mendengar hasil penjualannya, maka sedikitnya bisa membantu meringankan beban yang sedang dipikulnya.
“Ya Alloh, mudah-muddahan ini satu cara yang Engkau limpahkan kepadaku” lirih batinya penuh harap.

***
Sepuluh menit berlalu sampailah ia di depan warnet “Kita.” Di depan warnet ia berdiri sebentar. Billboard yang besar berukuran 1mx2m tergantung tiga meter di atas tanah ditopang dengan tiang besi berdiameter 10 centi. Tiangnnya berwarna putih. Tertulis huruf-huruf terukir indah dan menarik di muka bilboard. “Warung Internet Kita.” “Dengan Teknologi Membuka Cakrawala Dunia.” Demikian rangkaian kata yang tertulis di Billboard itu.
Irfan masuk dan mendekati pelayan warnet. “Assalamualaiakum!” Sapa Irfan kepada pelayan yang duduk serius di depan layar komputer. Sepertinya pelayan sedang asyik dengan chatingnya. Entah sedang chating dengan sahabatnya atau saudaranya. Tak bisa memastikan. Raut mukanya sedikit tersentak. Konsentrasinya buyar. “Walaikumussalam!” Pelayan itu memusatkan perhatian dan duduknya sambil tersenyum.
“Ada yang bisa dibantu?” Tanya pelayan pada Irfan.
“Pak Syafi'inya ada?”
“Oh, Bapak ada. Dia sedang di ruangannya.“
“Saya Irfan. Maksud kedatangan saya kesini karena teman saya Zali memberi tahu bahwa warnet “Kita” membutuhkan pekerja untuk dipekerjakan tiga hari lagi. Katanya ada pekerja yang mau pulang ke kampungnya.”
“Iya benar. Itu saya sendiri. Kenalkan nama saya Arman. Lengkapnya Arman Hadinusa. Saya mau pulang dan rencananya mau buka warnet di kota kelahiran saya. Namun maaf kelihatannya sudah ada yang akan mengganti saya. Tapi coba dulu nanti ke pak Syafi'i. Karena beliaulah pemilk warnet ini. Sebentar ya saya ke dalam dulu!” Arman, pelayan warnet itu berdiri dari duduknya. Kemudian ia berjalan ke sebelah kiri dan masuk ke ruang tempat pak Syafi'i.
Pandangan Irfan sejenak berkeliling mengingat-ingat seluruh ruangan. Karena ia sudah sering keluar masuk untuk sekedar chating, browsing, cari data untuk tugas kuliah, dan lain-lain. Ia mengingat-ngingat berapa jumlah komputer yang ada di ruangan ini. Warnet Kita memilki 75 buah komputer. warnet ini aksesnya di Jatinangor ini terbilang Nomor satu. Downloadnnya lumayan cepat. Tampilan gambarnya juga bening dan bergairah. Kompter sebanyak itu tersebar di enam ruang berukuran 4 m x 8 m. Tiap ruang alasnya diberi karpet warna hijau, satu ac, dan pewangi beraroma sunkish empat buah tergantung di tiap sudutnya. Kebersihan dan kenyaman diantara kiat yang diterapkan dalam melayani konsumen . Sehingga kalau masuk dan ngenet disini terasa nyaman. Betah berlama-lama.
Warnet ini sudah lima tahun berdiri. Dan menurut cerita Rahmat. Selama satu tahun setengah lebih sedikit sejak didirikannya, modalnya sudah kembali. Dari usaha ini pak Syafi'i katanya bisa membangun rumah, nikah, dan berangkat ke tanah suci bersama istrinya di tahun ketiga.
Perjalan pak Syafi'i, panjangnya Syafi'i Mubarok, menurut Rahmat, tidak ujug-ujug langsung sukses seperti sekarang ini. Ia harus bergelut dengan pengalaman-pengalaman pahit dalam dunia wirausaha. Sebelum buka warnet pak Syafi'i sempat berjualan pin, stiker di Paun (Pasar Unpad) bersama kawan-kawan kuliahnya. Kemudian beralih jualan pakaian dan mie ayam. Sebetulnya banyak pengalamannya yang tidak bisa diceritakan disini. Singkatnya awal mula mulai dapat dirasakan usahanya adalah sebelum ke warnet yaitu ketika berjualan roti pisang keju. Pak Syafi'i menjadi distributor di Jatinangor. Dari sinilah pintu awal pak Syafi'i menggeluti usaha warnet dan meraih sukses dalam berwirausaha.
Arman keluar dari ruang pak Syafi'i. Setelah dekat dekat dengan Irfan kemudian Ia berkata, “Sepertinya belum rezekinya. Kata bapak yang akan mengganti pekerjaan saya sudah ada. Sekali lagi saya mohon maaf” Harapnya.
Tangis dihatinya semakin bergemuruh. Namun, ia berusaha sekuat tenaga menahannya. Matanya berkaca-kaca. Dadanya semakin terasa sesak. Air matanya berlinangan di kedua bibir matanya.
Laksanana pohon yang layu tak menemukan air setetes pun. Akar-akarnya membusuk dan tak dapat bertahan lagi. Pohon itu perlahan-lahan batang dan ratingnya kering kerontang. Daun-daunnya yang hijau tegap tak sehelaipun tersisa.
Begitu pun rasa duka didadanya meronta-ronta keluar dari raganya. Menembus pori-pori mengiringi hembusan angin membawa kehampaan.
Ia pun keluar dari warnet membawa duka dipundaknya.





















3
Keesokan harinya sehabis shalat dzuhur Irfan tidur-tiduran di kamar. Kepalanya ia rasakan pusing-pusing. Mungkin karena semalaman ia tidak bisa tidur. Semalaman pikirannya terus bersikeras mencari jalan untuk membayar hutangnya pada Amin. Malamnya ia habiskan dengan membaca Al-Quran dan berdzikir. Tapi rasanya ketenangan tak mampir juga.
Bayangan utang-utangnnya pada Amin malahan terlalu kuat muncul ditiap huruf Al-quran yang ia baca. Dzikir yang ia ucapkan tak merasuk hatinya malahan menambah kuat ingatannya pada hutangnya yang empat hari lagi harus ia lunasi. Entah kenapa Al-Quran dan Dzikir tidak menjadi penawar gundah gulananya.
Ia baru bisa tidur pukul enam pagi. Itupun setelah ia paksakan dengan sekuat tenaga untuk menghempaskan kehwatiran dikepalanya. 
Ia tidur hingga adzan dzuhur berkumandang. Ia bangun, cuci muka. wudhu lalu pergi shalat dzuhur berjamaah. Sehabis shalat ia masih merasa kepalanya ditusuk duri, pusing-pusing. Akhirnya ia tidur-tiduran dan tertidur hinga ia bermimpi.
Dalam mimpi ia bertemu dengan kedua orang tuanya.
“Ibu, Ayah. Apakah ini benar ibu dan ayah” penuh tanya Irfan menatap kedua orang tuanya.
“Ibu, Ayah kenapa diam saja”
“Ibu kenapa wajah ibu dan ayah tampak sedih”
“Apa ada yang salah dengan Irfan”
Ibu dan ayahnya malah terus meneteskan air mata. Belum ada satu kata pun keluar dari mulut ibu dan ayahnya.
Lama Irfan tertegun. Hatinya berucap kenapa ibu dan ayah tidak berkata sepatah kata pun.
Ibu dan ayahnya kemudian berpaling dari Irfan. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam lorong yang sangat gelap. Namun wajah keduanya masih dapat Irfan lihat.
Irfan kemudian mengikuti sambil bersimpuh dikaki kedua orang tuanya.
“Ibu, ayah seandainya Irfan punya dosa jelaskanlah apa yang menjadi dosa Irfan kepada ibu dan ayah. Jangan biarkan Irfan menanggung beban dosa ini dan jangan biarkan Irfan terhina di akhirat” dengan tetesan air mata ia memohon pada keduanya.
Setelah menunggu beberapa lama akhirnya ibunya berucap.
“Irfan sungguh ibu sangat kecewa padamu”
“Kecewa apa ibu? Tolong jelaskan sejelas-jelasnya agar Irfan mengerti”
“Apakah kau ingat bagaimana ibu dan ayah telah mati-matian berusaha untuk membiayaimu kuliah. Dengan tujuan tidak lain adalah untuk kebahagiaanmu. Kau ingat sawah, kolam ,dan kebun yang telah ibu dan ayah jual hanya agar kau dapat menjadi seorang sarjana dan agar hidupmu kelak lebih baik dari keadaan ibu dan ayah saat ini. Apakah Irfan ingat bagaimana rumah telah digadaikan hanya untuk satu harapan agar Irfan dapat meraih gelar sarjana. Apakah ini balasan yang Irfan berikan pada ibu dan ayah?
Irfan meneteskan air mata. Namun ia belum mengerti juga apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh ibunya bahwa ia telah mengecewakannya.
“Ibu yang membuat Irfan mengecewakan ibu dan ayah itu belum jelas. Irfan belum mengerti ibu?
“Apakah kau tak sadar juga. Setelah pintu gerbang sarjanamu selangkah lagi kau gapai kenapa kau mengehentikan kuliahmu gara-gara tak ada uang. Bukankah Alloh telah menganugerahimu dua tangan, dua kaki, dua mata, dua telinga, tubuh yang sempurna, dan akal yang sempurna. Kenapa tidak kau gunakan anugerah yang Alloh ciptakan itu untuk mencari karunia-Nya agar kau penuhi biaya sidang dan wisudamu. Malah kau berlari dari keadaan dan kau meminta keluar dari kuliahmu. Dengan alasan itu kau keluar.
“Kau tahu perasaan ibu dan ayah?”
“Sedih sekali Fan. Sedih”
Kata yang berhamburan dari ibunya menyayat-nyayat hatinya.
Ayahnya yang sedari pertemuan diam saja akhirnya turut bicara.
“Fan! Ayah benar-benar sangat kecewa. Pernahkah Irfan merasakan bagaimana tenaga dan pikiran ayah dicurahkan untuk mencari uang agar kau tetap bisa kuliah. Pernahkan Irfan sadari keringat ayah sampai mengering berjuang mencari karunia Alloh agar Irfan bisa menjadi sarjana sesuai harapan”
“Duh Irfan. Kecewa ayah sangat besar padamu. Hanya dengan masalah sekecil itu kau putus asa dan berpaling dari rahmat-Nya. Hanya dengan alasan tidak ada uang Irfan memutuskan untuk keluar kuliah. Padahal satu langkah lagi Irfan menuju gerbang apa yang diharapkan ayah dan ibumu. Ayah benar-benar sakit”
“Dimanakah nasihat-nasihat ayah dan ibumu kau simpan. Dimanakah pesan terakhir ibu dan ayah yang sangat ibu dan ayah harapkan? Dimana Fan? Dimana?” tegas ayahnya dengan raut kesedihan jelas tergambar.
Kesedihan kedua orang tuanya membuat semakin deras air mata mengalir di wajah Irfan. Mulutnya terkunci rapat. Lidahnya kelu. Wajahnya pucat.
Sampai sejauh inikah perbuatanku pada orang tua. “Ya Alloh ampuni aku” batinnya mengharap belas kasih-Nya.

***
Kring...kring...HPnya berbunyi.
Irfan siuman dari tidurnya. “Astagfirulloh” Irfan berucap. Ia meraba sudut matanya. Bekas kesedihan dimimpi itu berlinangan di matanya. Ternyata mimpi itu membuat air matanya benar-benar menangis.
Ia langsung berdoa “Ya Alloh jauhkanlah aku dari mimpi buruk ini. Jangan biarkan mimpi buruk ini menjadi kenyataan. Ya Alloh aku berlindung padamu dari godaan setan yang terkutuk”
Matanya segera mengambil Hpnya. Ia lihat nomor Soleh. Ia ingat bahwa sekarang sudah masuk jadwalnya untuk menunggu toko. Dan Soleh tampaknya sudah menunggu sehingga ia menghubunginya.
“Assalamualaikum” sapa Irfan
“Wa'alaikumussalam” jawab Soleh.
“Fan kenapa sudah pukul dua belum datang. Soleh harus segera pulang. Karena kewajiban Soleh sudah ditunaikan. Selain itu Soleh juga ada tugas kuliah yang harus diselesaikan”
“Maaf Leh. Aku ketiduran. Tunggu lima belas menit lagi. Insya Alloh saya akan segera ke sana”
“Ia Soleh tunggu. Secepatnya ya”

***
Waktu berlalu dan Irfan pun sudah sampai di toko.
Irfan berucap salam. Soleh pun menjawabnya.
“Leh Irfan minta maaf datang terlambat” sambil ia jelaskan apa yang telah terjadi semalamam pada dirinya sehingga ia sampai tidak datang tepat pada waktunya mengganti Soleh menjaga toko. Setelah Irfan menjelaskan panjang lebar. Soleh pun mengerti.
“Ya Soleh maafkan. Tetapi jangan sampai terulang lagi. Jangan sampai masalah Irfan menjadi penyebab terganggunya hal-hal lain yang tidak diinginkan”
Setelah selesai berbicara langkah kaki Soleh melangkah cepat-cepat meninggalkan toko.
Sementara Irfan kemudian duduk di kursi yang tadi diduki soleh.
Dalam duduk Irfan mengingat mimpi yang dialaminya siang ini. Hatinya betanya-tanya, “Darimana ibu dan ayahnya tahu bahwa ia keluar dari kuliah gara-gara tidak bisa membayar biaya sidang dan wisuda. Ah mimpi ini”
Padahal saat ini ia sedang menghadapi masalah biaya sidang dan wisuda. Memang ia tak memiliki biaya saat ini. Tetapi langkah untuk memutuskan keluar untuk uliah gara-gara tidak ada biaya-sidang dan wisuda adalah sesuatu yang tidak mungkin ia lakukan. Sampai sekarang ia mampu betahan dengan kesendirian dan menjalani hidup dengan perpindahan hutang dari satu orang ke orang lain sudah biasa. Jadi meskipun ia sekarang sedang tidak ada uang dan membutuhkan uang, jalan berhutang pasti satu jalan yang ia akan tempuh.
“Mimpi ini aneh-aneh saja” gumammnya.
Tapi dibalik itu ia mengambill hikmah yang begitu dalam. Kata ibunya dalam mimpi terngiang kembali, “ Bukankah Alloh telah menganugerahimu dua tangan, dua kaki, dua mata, dua telinga, tubuh yang sempurna, dan akal yang sempurna. Kenapa tidak kau gunakan anugerah yang Alloh ciptakan itu untuk mencari karunia-Nya”
Kata-kata ibunya itu membuat tumbuh semangat hidup didadanya. “Kata ibu benar. Aku dianugerahi tangan, kaki, telinga, tubuh dan akal dengan sempurna. Aku harus bekerja keras dan cerdas memanfaatkan semua anugerah ini untuk menyelesaikan masalah yang sedang kuhadapi” niat batinnya berkata.
***
Enam jam sudah ia menunggu toko. Sebelum pulang pemilik toko memberikan gaji yang biasa ia terima setiap hari sabtu minggu kedua. Enam ratus ribu ia terima sebagai gaji pokoknya. Dan ia tak menyangka pemilik toko itu menambahnya lima puluh ribu. Katanya pendapatan tokonya alhamdulillah meningkat bulan ini, sehingga pemilik toko itu memberikan insentif lebih untuk dirinya.
“Alhamdulillah” hatinya mengucapkan syukur kepada-Nya.
Setelah menutup toko dan menguncinyaIa Irfan pulang dengan membawa kelapangan hati didadanya. Ucapan syukur sepanjang jalan sampai tiba dirumah kontrakan tak henti-hentinya ia ucapkan dalam hatinya.
Sesampainya dirumah kontrakan ia tidak langsung ke kamarnya tetapi segera ke kamar mandi. Ia langsung gosok gigi dan berwuduhu. Setelah itu ia masuk kamar shalat witir tiga rakaat dan memasang beker pukul tiga. Lalu ia merebahkan tubuhnya di kasur kapuk kenangan yang menemani Irfan di saat melepas lelah. Kasurnya berada di pojok ruang kamar rumah kontrakan yang ukurannya 3mx2m terasa nyaman malam ini. Seprai hijau muda yang membalutnya menentramkan harinya. Di tengah bagian atasnya satu bantal dan selimut mengajaknya untuk terlelap tidur. Meja dan kursi belajar yang sudah kurang bergairah berada dekat jendela menghadap keluar jendela, malam ini tampak indah dan menarik dimatanya.
Di luar malam purnama terasa menyinari dirinya. Sinar cahayanya menerangi gelap dadanya. Begitu pun Gunung Manglayang tampak jelas dibawah temaram sinar rembulan yang dihiasi pepohonan menerbitkan tumbuhnya pohon-pohon jiwa yang hijau sedap dipandang mata.



4
Matanya perlahan ia buka. Irfan bangun dari tempat tidur. Suara jangkrik diluar rumah merdu terdengar. Seperti sedang berdzikir mengagungkan asma-Nya. Suara nyaring kokok ayam pemilik rumah kontrakan membangunkan manusia yang terlelap tidur dibuai udara dingin, supaya bangun dan mengajak mereka yang terlelap untuk mengagungkan-Nya. Manusia dalam hal ibadah memang dibandingkan dengan hewan sepertinya kalah jauh. Manusia sering merasa terpaksa untuk bangun sepertiga malam. Malas membelenggunya. Tetapi jangkrik, ayam, maupun katak sudah lebih dahulu bertasbih beribadah pada-Nya. Keistimewaan yang harus ditiru oleh manusia adalah teguhnya mereka beribadah. Tak mengenal lelah, tak mengenal waktu, segenap jiwa raganya sudah dikerahkan sepenuhnya. Berbeda dengan manusia, masih banyak menghitungnya. Mau berdiri shalat malam. Ia menghitung berapa jam tidur yang telah ia lakukan. Mau sedekah, menghitung dulu uang yang ada, khawatir tidak cukup untuk biaya hidup. Mau menolong teman, menghitung dulu pekerjaan yang belum diselesaikan. Manusia memang tabiatnya. Dapat dihitung dengan jari orang yang benar-benar ikhlas.
Sajadah dihamparkan Irfan. Ia kemudian bertakbir untuk melakukan shalat malam. Empat rakaat ia tunaikan. Rakaat pertama ia membaca Surat Ar-Rahman, Al-Mulk, Al-Waqiah dan Al-Hasyr. Ia kemudian berdoa, “Ya Alloh ampuni seluruh dosaku. Ampuni jika masa silam dilalui dengan sia-sia. Jika waktu silam terbuang percuma. Ampuni Ya Alloh dosa yang dilkukan berulang-ulang. Dosa maksiat karena syahwat. Ya Alloh jadikan sisa waktu hidup benar-benar berkah. Jadikan sisa waktu yang tersisa menjadi kesempatan bertaubat padamu. Jadikan sisa waktu menjadi jalan untuk mengenal-Mu, mengenal keagungan-Mu. Ya Alloh karuniakanlah rezeki yang halal, rezeki yang berkah, rezeki yang mendatangkan manfaat bagi umat. Rob, jauhkanlah dari makanan yang haram, makanan yang subhat, dan makanan yang akan membuat sengsara di hari pembalasan kelak. Ya Alloh ampuni kedua orang tua kami yang telah mendahului kami. Ya Alloh muliakan kedua orang tua disisi-Mu. Masukanlah ya Alloh ke dalam surga-Mu. Terangilah alam kuburnya ya Alloh. Luaskanlah alam kuburnya ya Alloh. Karuniai ya Alloh dengan kasih sayang-Mu. Betapa banyak pengorbanan yang telah mereka lakukan untukku. Tanah, kolam, kebun, telah mereka ikhlaskan untuk kuliah hamba. Butiran keringat tak henti-hentinya bercucuran untuk menghidupi hamba. Ya Alloh meskipun mereka sudah tiada, ijinkanlah hamba membalas pengorbanannya. Ijinkanlah hamba menjadi anak yang berbakti pada mereka. Jangan biarkan hamba mengecewakannya. Jangan biarkan hamba menjadi sebab kemalangannya.   Rob, hujamkanlah dalam dada cinta kepada-Mu. Jangan biarkan cinta dunia menutupi rasa cinta kepada-Mu. Engkaulah yang memiliki cinta ya Alloh. Ya Alloh hamba sudah lelah hidup sebatang kara seperti ini. Tak ada teman hidup yang mendampingi dikala susah. Tak ada yang menyemangati dikala gundah. Ya Alloh karuniakanlah kepada hamba pasangan hidup. Ya Alloh jika cinta kepada mahlukmu akan menjadi jalan untuk lebih mencintai-Mu maka dekatkanlah ya Alloh padanya. Jika dengan engkau pasangkan diri ini kepada mahluk yang Engkau ridhoi akan semakin mencintai-Mu, maka mudahkanlah ya Alloh aku menemukannya. Ya Alloh Engkaulah yang Maha Tahu pasangan jiwa yang akan menetramkan hati. Engkaulah yang Maha Tahu pasangan hati yang akan menjadikan tentram menjalani kehidupan. Ya Alloh seandainya jodohku dekat maka dekatkanlah. Dan seandainya ia jauh maka dekatkanlah. Jangan biarkan hati ini terombang-ambing dalam ketidak pastian. Jangan biarkan hati ini gundah gulana. Ya Alloh karuniakanlah kepadaku kebahagian dunia dan kebahagian akhirat”.
Waktu tak terasa terus berjalan. Adzan subuh sudah berkumandang. Irfan bersama teman kontrakannya menuju Mesjid yang tak jauh dari rumah kontrakannya. Mereka melaksanakan shalat berjama’ah.

***
“Kang Ada temannya datang” suara Amin dibalik pintu kamar Irfan menyahut.
“Ya. Min suruh tunggu sebentar”
Hatinya bertanya-tanya siapa yang datang sepagi ini di hari minggu. Keningnya mengkerut. Jangan-jangan ada teman yang mau menagih uang padanya” gumamnya.
Ingatannya berpikir apakan ia masih memiliki hutang pada temannya. Seingatnya ia tidak mempunyai hutang pada temannya bulan-bulan ini, kecuali hutangnnya pada Amin.
Irfan keluar kamar dan meilhat yang datang ternyata Hanif teman kulianhya.
Irfan berucap salam dan Hanif membalasnya.
“Ada apa Nif, pagi-pagi seperti ini” nadanya penuh tanya.
“Ada bisnis lumayan Fan. Buat uang makan”
“Bisnis” kata Irfan ingin mempertegas.
“Ia Fan Bisnis”
“Begini Fan, teman-teman sepondok ingin dibuatkan kaos lengan panjang warna biru tua dan pin seratus buah. Kainnya katun combat kualitas nomor satu sedangkan pin ukuran 24 mili dop jeruk kualitas nomor satu juga. Harga kaos biasa yang enam puluh ribu dan pin yang dua ribu” 
Gurat kebahagian sedikit tersipu di wajah Irfan. Ternyata masih tersisa harapan. Kemurungan yang sudah seminggu tak juga sirna sedikit memudar dan perlahan meninggalkan benaknya. Kebingungan mengenai uang yang harus dibayarkan untuk biaya sidang dan wisuda ternyata ada rezekinya. Di tengah air mata yang berteman duka lara ternyata masih ada kasih sayang-Nya. “Allah memang sayang terhadap hambanya!” Lirih Irfan dalan hatinya. 
“Wah yang bener Nif. Apakah ini mimpi?” Tanya Irfan.
“Fan, Fan! Kapan saya bohong padamu! Ini benar. Malah saya sekarang bawa uang mukanya.”
“Alhamdullillah.”
“Kaosnya harus selesai dua minggu Fan, bisa nggak?“
“Insya Allah.”
”Uang mukanya berapa?”
“Biasa, uang mukanya dua puluh lima persen dari total harga. Sisanya nanti pas barang diambil.”
“Sekalian ini desain kaos, gambar, dan ukurannya.”
Setelah percakapan selesai dan terjadi kesepakatan Hanif minta diri karena ia harus segera ke pondoknya mengabarkan kesepakatan yang telah ia lakukan bersama Irfan.
Irfan kemudian menghitung-hitung. Seratus kaos. Berarti ia akan mendapat keuntungan tuju ratus lima puluh ribu. Karena tiap kaos labanya tujuh ribu lima ratus. Dipotong biaya transportasi dan lain-lain laba bersih sekitar Tujuh Ratus Lima Puluh Ribu. Sedangkan dari pin ia dapat lima puluh ribu Dengan jumlah uang sebesar itu, maka hutang ke Amin dapat dibayar. Dan untuk biaya sidang dan wisuda ia tinggal mencari empat ratus lima puluh ribu lagi untuk membayar biaya sidang dan wisudanya.
Seperti meneguk setetes air di padang pasir. Mulut yang kekeringan menjadi basah. Kerongkongan yang kekeringan menjadi sejuk karenanya. Seperti mendapat durian runtuh. Harumnya menyegarkan hidung. Buah-buahnya manis dirasa.
Apa yang dialami Irfan akibat kebimbangan, kini berganti tumbuhnya harapan dan semangat untuk memenuhi semua biaya yang masih kurang. “Akan kukubur kesedihan. Tak ada gunanya hidup terus-terusan dalam kesedihan. Selamat tinggal kesedihan. Aku harus bangkit. Semangatku harus kupulihkan. Akan kukabarkan pada dunia bahwa hidup sebatang kara bukan alasan untuk murung dalam kesedihan. Akan kukabarkan pada mentari bahwa kesendirian bukan alasan untuk tidak menjadi orang yang sukses, kaya, dan dermawan.”

***
Tanpa menunggu waktu hari itu juga Irfan berangakat ke toko “Cepat Jaya” untuk memesan kaos dan pin yang diinginkan Hanif dan kawan sepondoknya.
Toko Cepat Jaya berada di sebelah barat Terminal Cicaheum. toko ini bisa dtempuh dengan jalan kaki atau bisa juga naik angkot. Dengan angkot empat menit sudah sampai. Angkot yang mengarah ke toko ini hampir semua yang mangkal di terminal. Toko ini tepatnya berada di jalan Suci Nomor 189. Di jalan suci toko-toko yang menerima pembuatan pin, kaos, stiker, plakat, spanduk, dan berbagai macam ukuran percetakan ada. Jalan suci pusatnya. Memang ada beberapa bengkel motor dan mobil, toko bahan bangunan, toko makanan, dan satu pom bensin pertamina di sebelah kiri kananya, tapi itu bisa dihitung dengan jari, perbandingannya mungkin satu berbanding lima puluh. Diantara bengkel yang ada yaitu “Bengkel Walet”, “Bengkel Ibu.” dan Bengkel Makmur. Dan toko bangunan “Wijaya” satu-satunya toko bangunan yang ada.

***
“Caheum, Caheum, Caheum!” Teriak kondektur yang mukanya sawo matang, namun agak sedikit kehitam-hitaman. Matanya terlihat sayup seperti kurang tidur. Dengan handuk kecil melingkar di lehernya ia melambai-lambaikan tangan sambil berdiri di pintu bis.
Irfan berucap, “Caheum Bang!” Irfan pun naik.
Jatinangor-Cicaheum biasa ditempuh dengan waktu setengah jam. Jaraknya sekitar 20 km. Cileunyi, Cibiru, Ujung Berung jalan yang memisahkan Jatinangor dengan Cicaheum.
Irfan masuk di pintu belakang bis. Ia sebentar berdiri. Matanya mencari-cari kursi yang kosong. Dari belakang ia melihat ke depan. Ada kursi kosong di sebelah kiri. Kursi keempat dari kursi depan. Kelihatannya hanya seorang perempuan yang mengisinya. Ia bergegas melangkah. Ia pun kemudian duduk.
“Kakak”. Ucap seorang perempuan berjilbab merah muda disebelah kiri tempat duduk Irfan. Motif bunga menghias kerudungnya. Jilbabnya terurai panjang melebihi dada.
Matanya kemudian saling bertemu. Irfan pun bertasbih “Subhanalloh!” dalam batinnya. Perempuan yang duduk disampingnya ternyata Nadia. Ia seorang mahasiswa jurusan ilmu biologi Unpad. Sekarang semester tujuh. Kulit wajahnya putih bersih. Matanya hitam dan bening. Senyumnya selalu merekah ketika bertutur sapa dengan siapapun dan katanya ia perempuan paling cantik di Fakultas MIPA. Teman-teman Irfan banyak yang membincangkannya. Selain itu, ia pun dikenal karena kecerdasannya. Indek prestasi kumulatipnya selalu cumlaude. Tak ada satu semesterpun yang dilewatkannya. Selalu cumlaude. Ia pun dikenal karena aktif diberbagai organisasi. Mulai dari aktivis dakwah kampus di Al-Ummah unpad. Himpunan mahasiswa jurusan. Di fakultas ia aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Mipa (Matematika Ipa). Dan sempat menjadi anggota Komisi Pemilu Raya Mahasiswa Unpad enam bulan yang lalu. Setiap mahasiswa kagum kepadanya. Apalagi seorang lelaki. Jika bertemunya dengannya pasti tersihir oleh pesonanya. Bahkan diam-diam Irfan pun jatuh hati padanya.
Wajahnya yang mempesona ibarat melati yang tumbuh mekar menampakkan keindahan warnanya yang putih bersih. Siapa yang tidak ingin memilikinya. Dari sisi agama jelaslah ia sebagai aktivis Al-Ummah. Sekarang ia adalah ketua keputrian di Al-Ummah. Sudah dapat ditebak bagaimana kualitas agamanya. Pasti diatas rata-rata yang lainnya. Kepemimpinannya pasti bagian dari sifat yang lekat didirinya. Gaya bicaranya lugas, tegas, penuh muatan kewibawaan sebagai seorang perempuan. Kelembutan selalu menghias di setiap kesempatan. Maka wajar jika banyak yang terpesona olehnya.
“Eh, Nadia.” Suaranya sedikit parau dan bergetar. Jantungnya berdetak kencang di dadanya. Ia menahan emosinya yang meluap-luap. Tubuhnya seakan-akan tak bisa dikenadalikan. Perlahan-lahan Irfan menarik nafas dan menata ketenangannya. Setelah sedikit tenang ia balik menyapa.
“Mau pulang”
Dengan senyum Nadia menjawab, ”Iya, Kak! Kakak sendiri mau ke mana, kelihatannya ada urusan penting yah?”
“Kakak mau ke Toko Cepat Jaya. Ada yang pesan dibikinin kaos.”
“Wah kak Ifran memang berbakat jadi seorang pengusaha. Ternyata benar yah kata kakak Nadia, bahwa kak Irfan seorang yang harus dicontoh dalam mengais rezeki.”
“Ah bisa aja Ahmad Itu. Bukannya yang harus dicontoh itu Nadia. Sudah cerdas, banyak prestasinya, aktif lagi diberbagai kesempatan! Kalau kakak, ya seperti inilah. Tak satu prestasi pun yang bisa dibanggakan.”
Ahmad adalah kakak Nadia. Kuliahnya sudah selesai satu tahun yang lalu. Irfan kenal dengannya ketika aktif di mesjid Al-Ummah.
“Tuh kan. Ternyata kakak juga orang yang rendah hati. Memang tak salah apa yang dikatakan kakak Nadia dan teman-teman. Selain mandiri juga rendah hati.”
Percakapan mereka terhenti. Seorang kondektur berada dipinggirnya. Ia meminta ongkos kepada Irfan dan Nadia. Irfan kemudian mengeluarkan uang delapan ribu. “Bang dua!” ucapnya. “Dengan siapa?” Kondektur memastikan yang diucapkan Irfan. “Dengan ini.” Tangan Irfan menunjuk ke arah Nadia.
“Nggak usah kak? Nadia bayar sendiri.” Nadanya sedikit memelas.
“Nggak apa-apa. Mumpung diberi kelapangan oleh Alloh. Katanya kan banyak sedekah itu perbuatan yang akan menyuburkan rezeki. Dan katanya dengan sedekah dapat menghapus keburukan yang akan menimpa seseorang! Begitu kan!”
Nadia terdiam. Ia pun akhirnya memasukkan uang ke dalam dompetnya. “Jazakumulloh Khoiron Katsiro ya kak! Semoga Alloh membalas dengan sesuatu yang lebih baik lagi ”
“Sama-sama”
“Oh iya, Kak! Kakak menerima bikin kaos lengan panjang, pin dan stiker. Kebetulan, Nadia dipercaya untuk membuat stiker dan pin untuk acara “Pekan Dakwah Nurani” di Yayasan Al-Falah. Yang insya Allah acaranya dua minggu lagi. Kakak bisa tolong Nadia untuk membuatkannya. Jumlahnya masing-masing lima puluh kaos, seratus pin, dan dua ratus stiker”
“Alhamdulillah. Alloh memang maha tahu kebutuhan hambanya” bisik hatinya. “Insya Alloh bisa”. Senyum bahagia dipipinya. “Contoh kaos, stiker dan pinnya ada?”
“Ada kak. Kebetulan ada di Flasdisk”
“Kalau uang mukanya berapa Kak?” tanya Nadia
“Biasanya dua puluh lima persen”
“Wah Kak uang disaku Nadia hanya enam ratus ribu, nampaknya Nadia harus ambil dulu uangnnya di ATM kalau harus segitu”
“Ga apa-apa enam ratus ribu juga”
“Bener Kak”
“Iya”
Nadia kemudian mengeluarkan uang dari dompetnya enam lembar seratus ribuan.
Irfan kemudian menerima uang enam ratus ribu sambil memeberikan nota bukti uang muka pada Nadia. 
“Oh ya, kalau Nadia mau menghubungi Kakak ada nomor yang bisa dihubungi?”
“Ini Nomor kakak 081809012344.” Irfan menyebutkan angka-angkanya dua kali.
“Nomornya cantik, yah.” Suaranya Nadia terdengan merdu. Nyaring. Membangunkan jiwa yang haus akan kasih sayang.
“Nomor Nadia berapa?”
“Ini nomor Nadia 081807878333”
“Nomor Nadia juga cantik. Secantik orangnya.” Balas Irfan. Tak sengaja Irfan berucap seperti itu. Kekagumannya mungkin tak bisa disembunyikan. Akhirnya kata cantk pun keluar juga dari hatinya.
Wajah Nadia kelihatan memerah. Malu. Atau mungkin merasa senang karena ada yang memujinya. Siapa orang yang tidak bahagia jika dipuji. Apalagi oleh seorang lelaki. Walaupun hanya satu kata “Cantik”. Tapi bagi seorang perempuan mungkin dapat memekarkan bunga di hatinya. Maknanya sangat dalam. Bahkan bisa sampai meluluhkan hatinya. Hati wanita itu terlalu lembut jika hatinya sudah tersentuh.
Semakin terlihat jelas kecantikan Nadia ketika kulit wajahnya yang putih berubah menjadi sedikit merah. Kecantikan yang alami. Tanpa polesan mik up gurat-gurat kecantikannya jelas membahana menghias mengisi ruang dunia. Satu hiasan yang maha sempurna dari keindahan cipataan-Nya. Sungguh kecantikannya tidak bisa dilukiskan dengan untaian kata. Mungkin inilah bidadari yang diturunkan ke muka bumi untuk pengingat manusia bahwa kecantikan bidadari di akhirat kelak lebih dari bidadari dunia.
Dalam bis percakapan tak berhenti. Hingga Nadia pun turun dari bis. Dalam percakapan itu ternyata Nadia juga sedang mengadakan penelitian untuk skripsinya. Dia sedang meneliti tentang “Pengaruh Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan Jamur Merang”. Satu bulan lagi menurutnya penelitiannya akan selesai.
Bis masuk terminal Cicaheum. Para penumpang kemudian turun dengan tertib. Irfan pun turun. Siang itu udara terasa panas. Suasana terminal ramai dengan penumpang yang datang dan penumpang yang pergi. Bis-bis berjajar dengan teratur. Rapi. Layaknya terntara berjajar teratur berdiri tegap menyandang senjata. Para pedagang sibuk dengan barang dagangannya. Warung makan dan oleh-oleh khas bandung juga menambah ramainya terminal siang itu.
Irfan tak lama tiba di toko Cepat Jaya. Kemudian Irfan menyebutkan semua pesanan Hanif dan Nadia. Setelah itu ia pulang.

***
Malam hari ia rebah di atas kasur. Tiba-tiba wajah Nadia yang putih bening berkelebat dalam ingatannya. Entah kenapa ingatannya terus tak lepas dari bayang-bayang Nadia. Semenjak pulang dari toko Cepat Jaya hingga ia rebahan. Memang kecatikannya tiada tara. Siapa yang memilikinya tentu akan bahagia. Seketika itu pula mungkin akan merasa jadi seorang raja. Dunia seakan-akan miliknya. Ia mungkin tidak akan habis-habisnya mengajak berkelling dunia. Bersamanya kejenuhan tidak pernah datang. Sebaliknya waktu akan terasa sangat singkat. Sangat cepat berlalu. Matanya yang hitam bening bersinar terang seperti purnama malam ini. Matanya menyilaukan pandangan yang memandangnya. Aura kecantikan di matannya mampu memikat lelaki setampan apapun. Hidungnya mancung. Bibirnya manis tipis. Jika kata berhamburan dari bibirnya pasti setiap orang jadi linglung. Bukan hanya karena bibirnya yang manis tipis melainkan aura kata yang tersusunnya ibarat untaian mutiara. Bisa menenggelamkan akal pikiran. Itulah lamuan Irfan tentang Nadia.
“Seandainya aku ini orang yang berprestasi, punya usaha, kaya, punya rumah. Takan kubiarkan waktu berlalu. Akan kulamar dan kunikahi secepatnya” suara hatinya berbicara penuh emosi jiwa.
Pertemuan di bis itu ternyata masih terkenang indah dibenaknya. Kesempatan itu memang tak selamanya datang. Sekursi dengannya jarang sekali terjadi. Bersua dengannya sulit untuk dilakukan. Apalagi berbicara dalam waktu yang lama bisa dihitung dengna jari.
Kecantikannya terus berkecamuk di qalbunya. Bayang wajahnya kesana kemari membuyarkan konsentrasi. Peredaran darahnya terasa dialiri rangkaian huruf N, A, D, I, A. Paru-parunya sesak dipenuhi udara-udara hembusan nafas Nadia. Senyum Nadia yang menawan membahana menyelimuti rasa inginnya.
“Apakah aku telah jatuh cinta padanya” lembut hatinya jujur berkata. Cinta memang terlalu indah untuk digambarkan. Kanvas sepanjang aliran sungai dari hulu hingga muara takan mampu menampung goresan-goresan warnanya. Jalan raya– jalan raya dari ibu kota sampai ke pelosok desa-desa tak bisa sempurna menjelaskannya. Udara-udara yang menyelimuti bumi yang setiap hari dihirup manusia tak kuasa dihadapannya. Cinta hanya diobati dengan cinta.
Datangnya cinta tiba-tiba tanpa disadari mengetuk pintu hatinya. Walaupun hanya sekali bertemu, bertatap muka, dan bersua cinta bisa tumbuh dalam dada. Hadirnya cinta memang tak disangka. Ia bisa hadir di puncak gunung. Ia bisa hadir di bukit-bukit. Ia bisa hadir di ngarai-ngarai. Ia bisa hadir dimana saja. Dan cinta Irfan pada Nadia tumbuh subur di Bis itu.
“Astagfirullah hal adzim! Ampuni aku ya Alloh telah berpikir yang tidak-tidak.” sejenak Irfan berucap. Ia sadar dalam dirinya sedang berkecamuk emosi-emosi insani. Karena itu adalah fitrah. Bagian yang tidak bisa dilepaskan dari diri manusia. Dalam itu terbentang wujud-wujud cinta kasih-Nya. Inilah yang menyebabkan manusia menjadi mahluk yang diciptakan oleh-Nya jadi sempurna. Dengan ini manusia dapat berkasih sayang, saling menjaga, saling menasihati, saling mempermudah, saling memberi. Dengan ini pula Alloh ingin mengajarkan pada mahluknya betapa cinta-Nya kepada mahluk melebihi cinta sesama mahluk. Dia yang menciptakannya. Dia yang memilki keagungan cinta.
Irfan sadar dengan keberadaan dirinya ia tidak akan bisa memenuhi rasanya. Dengan keadaan yang hanya cukup memenuhi makan saja sudah merupakan keberkahan. Ia tidak memiliki apa-apa. Ia hanya seorang mahasiswa biasa yang prestasinya juga biasa. Tidak ada yang menonjol. Harta kekayaan apalagi. Tanah warisan tak tersisa. Rumah pun tak dimilikinya. Kendaraan jangan ditanya. Jangankan mobil mewah, motor butut satu pun nggak ada.
Kalau harta, kedudukan, jabatan, kecerdasan, memang ia tak memilikinya. Namun dalam hatinya ia percaya bahwa ia hanya memiliki niat tulus karena-Nya untuk menjalin rumah tangga. Itu saja yang ia miliki saat ini. Itupun seandainya cinta Allah untuk mempersatukannya masih tersisa. Ia kemudian hanya bisa pasrah.
Ia berdiri dan melangkah keluar kamar menuju kamar mandi. Ia membersihkan diri dan berwudhu. Setelah selesai ia ambil mushaf. Ia kemudian membaca Al-Qur'an. Dengan harapan mudah-mudahan bayangan Nadia tidak mengganggunya lagi. Setengah 1 juz ia baca dan ditutupnya. Ada ketenangan menjalar ke dalam dadanya. Ketenangan kemudian memenuhi rongga dadanya. Tangannya mengambil beker kemudian ia pasang alarm pukul tiga dengan maksud agar bisa tahajud. Ia berdoa. Kemudian ia pun tidur.

***






















5
Air matanya bersimpuh. Haru bercampur sedih menempati ruang hatinya. Haru karena pengorbanan ibu dan ayahnya tidak sia-sia. Haru karena ia sudah menjadi seorang sarjana yang diharapakan orang tuanya. Namun ia pun sedih. Sedih karena disaat ia telah meraih sarjana ibu dan ayahnya tak dapat menyaksikannya. Karena tidak mungkin ayah dan ibunya hadir sebab mereka berdua sudah berada disisi-Nya. Sedih karena seakan-akan bahagia terasa hambar karena hanya dinikmati sendiri tak ada yang menemani. Sedih karena hidupnya masih sebatang kara tak ada teman hidup untuk berlabuh tak ada sanak saudara tempat mengadu. Bahagia ia rasakan sendiri dan masalah ia hadapi sendiri. Ya ia masih sebatang kara. Kesendirian yang tidak mungkin dapat diobati, kecuali dengan ikatan yang suci. Dan kini ia masih menyendiri menanti tarian nasib berganti dengan senyuman.
Ia masih melewati hari dimana wisuda yang dinantikan pun berlalu tanpa terasa. Sarjana dipikul dipundaknya dan ia rasakan betapa berat yang harus ia pikul. Ia merasakan beratnya karena sudah puluhan lamaran yang ia kirim lewat pos dan penantian pun jadi teman menjemukan setiap berganti hari. Namun apa yang harus diperbuat, semua itu mengalir tanpa kendali. Satu bulan berlari begitu saja tanpa terasa meninggalkan jejak-jejak harapan yang seringkali melayang-layang tak bertujuan. Namun, dalam hati selalu ia rasakan ada setitik cahaya terang yang menerangi jalan gelap dan berkabutnya perjalanan yang harus ditempuhnya.
Hari pertama dari bulan kedua setelah ia menyandang gelar sarjana, tukang pos mengantarkan surat untuknya. Hatinya berdebar-debar, detak jantungnnya tak bisa ia tata. Ia baca kop surat bagian depan. “Yayasan Bina Insani”. Jalan Ujung Berung No.12 RT/RW 03/04 Kota Bandung 34239. Ia buka amplop surat dan ia baca dengan seksama. Isi surat ternyata memintanya untuk wawancara maksimal satu minggu setelah ia menerima surat panggilan. 
Isi surat yang ia baca membawa rasa cemas sekaligus harapan. Kecemasan dan harapan berbaur di dadanya. Tak jelas dimana letak kecemasan dan dimana harapan. Dadanya bergemuruh. Air mata pun jatuh terhempas menggenangi tanah cita-cita yang jadi pengharapan kedua orang tuanya. Ia ibarat setangkai ranting merindu titik embun di pagi hari yang mendung. Dingin. Tak ada butir-butir kehangatan. Ia masih gamang dengan kepastian diterima bekerja atau ia akan menjadi musafir kerja dalam bulan-bulan ke depan yang tak tahu pasti tempat perhentiannya. Dibalik galau, hatinya menenguhkan, “Selama masih bernafas selalu ada harapan untuk lebih baik”.

***
Sebulan berlalu. Cinta-Nya membawa Rahman bekerja sebagai manajer wirausaha di Yayasan Bina Insani. Kini, kemeja panjang bermotif batik dan celana katun senantiasa menemani setiap hari kerjanya. Kini gairah hidup pun bersemi di taman harapannnya. Kecemasan perlahan-lahan menghilang. Keraguan lenyap ditelan rasa syukur akan karunia yang telah dilimpahkan-Nya. Kini ia benar-benar merasa kasih sayang-Nya begitu besar padanya. Di tengah hidup yang tak menentu ia menemukan bahwa curahan nikmat-Nya tak pernah berhenti sedetik pun. Nikmatnya terus mengalir tanpa henti walalaupun ia jujur bahwa sedikit sekali ia beribadah kepada-Nya. Apalagi kalau menghitung bagaimana ia mensyukuri nikmat-Nya, sangat, sangat tidak dapat dibandingkan dengan limpah curah nikmat-Nya.yang telah ia lakukan.
Dunia kini terasa lapang baginya. Begitu pun hatinya, secerah sinar mentari yang menerangi setiap titik di muka bumi. Hatinya ini kini memancarkan kelembutan dan membawa kehangatan. Gurat wajahnya pun kini segar dan berseri seperti bunga yang sedang bermekaran. Indah warnanya dan memesona.
Ia kini disibukan dengan karya rutinitas. Lelah berhias butiran keindahan menu sehari-hari yang dihadapinya. Catatan-catatan administrasi hal yang sudah tidak asing lagi baginya. Pelayanan berbalut ramah senyum kewajiban tulus mengalir memenuhi sungai-sungai aktivitasnya. Ia kini merangkai mutiara-mutiara manfaat untuk umat manusia. Berkilauan. Hidupnya benar-benar terasa hidup.
Bukan kebetulan, rutinitas kerjanya, mengantarkan waktu bertemu dan mengenal orang-orang penting di Yayasan itu. Dan takdir Allah, ia bertemu dengan sahabat lama yang memiliki andil besar di Yayasan dimana ia bekerja. Sahabat lama itu adalah Ahmad. Ahmad, kakak Nadia. Sejenak tanpa sadar ia pun teringat akan Nadia. Wajahnya seolah-olah bertempat di pelupuk matanya. Suaranya mengisi genderang telinganya. Namun, ia pun cepat-cepat menyadarinya, karena hal itu bukan jalan yang diridoi-Nya.
Jabat tangan dan dekapan mengawali kehangatan pertemuan persahabatan yang cukup lama menyimpan kerinduan. Curahan kata pun tak sadar silih berganti merangkai kalimat-kalimat, paragraf, hingga kalau ditulis bisa jadi sebuah penggalan novel yang tak kehilangan makna. Senyum tawa menggenapi kehangatan. Rasa kasih sayang pun tak terelakan menyeruak ke langit-langit persahabatan. Awan-awan menatap indah. Mentari pun tersenyum menawan. 
***
Hari berlalu, minggu pun berbilang. Ahmad dengan sengaja datang ke tempat kerjanya. Sepucuk surat ia memberikan pada Irfan.
“Fan ini ada titipan surat untukmu”
“Dari siapa, Kang?” selidiknya.
“Baca dulu. Nanti juga tahu” jawabnya singkat.
“Besok saya ke sini lagi mengambil balasannya”
Irfan semakin bingung. Sepertinya ada yang disembunyikan Ahmad. 
Tanpa menunggu lama, setelah Ahmad hilang dari ruangannya, Irfan pun langsung membuka surat itu.
Ketika ia buka amplop surat dan membaca awal surat detak jantungnnya berdegup kencang. Kemudian ia baca dengan seksama.

Teruntuk Kak Irfan
Assalamualaikum Wr.Wbr. 
Semoga saat ini Kakak ada dalam lindungan dan kasih sayang-Nya.
Berjuta maaf kumemohon, jika kedatangan surat ini mengganggu. Dan mohom maaf pula jika Nadia lancang memberikan surat ini.
Dalam surat ini ada maksud rasa yang ingin Nadia sampaikan. Tapi sebelumnya Kakak jangan berprasangka buruk tentang Nadia. Nadia tulis surat ini dengan kebeningan hati dan ketulusan niat. Mudah-mudahan Kakak bisa menerima.
Terus terang, Kak, setelah Nadia tahu tentang Kak Irfan dari Kakak Nadia dua tahun silam, didalam hati Nadia ada tempat yang sesak dipenuhi nama Kakak. Hari-hari berlalu dan tahun-tahun Nadia lewati, tempat itu masih tetap sesak dipenuhi nama kakak. Entah kenapa nama Kakak terukir di hati ini.
Kekaguman pada Kakak berawal dari cerita Kakak Nadia tentang perjuangan Kakak menyelami hidup. Setelah cerita itu, Kak Irfan bagi Nadia adalah sosok orang yang mampu bertanggung jawab, pekerja keras, dan tak pernah berputus asa. Walaupun Kakak menyelami dasar samudera sebatang kara, Kakak tetap tegar menghadapinya.
Entah kenapa hati ini semakin terpaut pada Kakak. Bibit-bibit kasih sayang bersemi didada. Hingga hari ini kasih-sayang itu sudah tumbuh matang.
Kak! Kakak mungkin tak tahu semakin lama kasih sayang didada Nadia akhirnya berbuah Cinta. Cinta yang Nadia pendam sudah saatnya Nadia ungkapkan dan curahkan pada Kakak.
Kak, Nadia tak ingin cinta Nadia pada Kakak semu. Tapi Nadia ingin cinta ini berbuah keberkahan dan pahala disisi-Nya.
Kak! Ijinkanlah Nadia mengungkapkan keinginan Nadia. Kak! Nadia sangat berharap Kakak bisa menjadi Imam Nadia berlayar di Samudera hidup ini. Membimbing Nadia dalam ibadah pada-Nya. Dan menjadi pelindung Nadia disepanjang hari yang dilalui.
Kak! Jadikanlah Nadia teman hidup Kakak untuk selamanya. Jadikanlah Nadia teman hidup yang bisa menjadi tempat berlabuh dikala Kakak gundah. Nadia berharap Nadia bisa memberikan cinta yang tulus ini dalam ikatan suci keridhoan-Nya.

Wassalam.
Yang Mengharapkan Kakak 

Psn : Besok Kakak Nadia Ambil balasan surat dari Kakak.

***
Setelah membaca sepucuk surat hijau lembut nan cerah dari Nadia mata Irfan berkaca-kaca tanda bahagia. Haru membahana di setiap ruang batinnya. Bahagia menaburkan wewangian nan indah di setiap sudut rongga dadanya. Sukmanya melayang di langit kebahagiaan. Hatinya berbunga-bunga. Raganya hanyut mengikuti irama ketulusannya.Rasa tangisnya ingin meledak ungkapkan berjuta kebahagiaan.
Dalam harunya ia bergumam, “Ya Allah. Apakah ini anugerah atau ujian!”.
Ia masih tak percaya bahwa surat yang ia baca adalah surat dari Nadia. Wanita yang selama ini pernah singgah dihatinya dan sempat berpikir untuk menjadikannya buah hati dalam menemani perjalanannya. Wanita yang selama ini diidam-idamkan oleh setiap teman-temannya ketika masih kuliah kini mengantarkan bahasa cinta kepadanya dan bukan hanya sampai disitu saja tapi mengajak untuk berpadu merangkai tali kasih yang sejati. Kalau tidak dipikir lebih dalam dan teliti mungkin tidak perlu berlama-lama untuk mengiyakan ajakannya, karena tidak ada satu alasan pun bagi seorang lelaki untuk menolaknya. Kepribadian menawan yang dimilikinya jaminan yang tidak akan salah dalam memilih pasanangan hidup. Kecerdasan ia miliki. Kelembutan ada pada karakternya. Keibuan pun juga demikian. Wajahnya yang bening sebening permata paling indah tak kan pernah habis dimakan waktu. Dan menantapnya, walaupun berjuta-juta kali, tak kan pernah jemu. Malahan satu kali menatap dan sejuta kali menatap maka ia akan semakin ingin menatap lagi. Lagi dan lagi.
Namun yang dipikirkan Irfan sungguh sangat berbeda. Berbeda jauh. Walaupun ia seorang pebisnis, yang sering kali berpkir spekulatif tanpa berpikir panjang, dihadapkan pada masalah seperti ini ia tidak ingin semudah bisnis. Karena memilih pasangan hidup bukanlah memilh makanan yang habis satu kali konsumsi. Memilih pasangan hidup adalah memilih teman yang akan terus-menerus mendampingi melewati hari, bulan, tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun. Itulah sebabnya Irfan tidak langsung mengiyakan. Ia tidak ingin pilihannya salah. Walaupun berbagai kriteria yang tidak mungkin akan ditolak seorang lelaki ada pada diri Nadia. Ia hanya ingin benar-benar memastikan bahwa pilihannya benar-benar tepat dan diyakini akan membawa kebahagiaan padanya dan untuk pasangannya. Ia tidak ingin karena hanya dengan alasan melihat kelebihan Nadia lantas ia langsung memutuskan. Tanpa ada pembanding terhadap sesuatu yang tidak baik yang ada pada diri Nadia. Memang setiap manusia tak ada yang sempurna. Namun betapa terlalu mudah bagi manusia mencintai dan suka terhadap sesutau yang baik-baik saja, sementara terhadap kekurangan-kekurangan ia tidak bisa mencintainya, padahal yang tidak boleh dilupakan juga dalam memilih pasangan hidup adalah kekurangan yang ada pada pasangan itu dan berani untuk mencintai kekurangan-kekurangan itu dan berusaha membimbingnya ke arah yang lebih baik lagi, walaupun kekurangan itu akan senantiasa ada dan hadir sepanjang perjalanan keluarga. Akhirnya ia memutuskan untuk shalat istikhoroh

***
Keesokan harinya pukul dua ia bangun. Ia ambil air wudhu kemudian tahajud. Ia angkat kedua tanggnnya lalu ia bersimpuh dihadapan-Nya seraya berdoa.
“Rob, Engkau yang menghujamkan keyakinan pada hambamu dan menyirnakan keraguan dalam dada ini. Aku mohon berikanlah keyakinan padaku dalam memilih pasangan hidup ini. Jika ia adalah anugerah yang Kau limpahkan dan paling baik menurut-Mu maka kokohkanlah keyakinan hamba. Namun jika ia bukanlah anugerah yang terbaik menurut-Mu, berikanlah aku kelapangan menghadapinya. Ya Allah Engkau yang Maha tahu segala-galanya.”

*** 
Sehabis subuh ia akhirnya menulis sepucuk surat balasan untuk Nadia.
Teruntuk Nadia
Assalamualaikum Wr. Wb.
Tiada doa yang menyejukan hati dan menentramkan batin selain Semoga Alloh memberikan kebahagian dan melimpahkan rahmat, nikmat, dan kasih sayang-Nya kepada kita semua.
Semoga ketika goresan ini sampai di hati Nadia yang ikhlas dan bening itu Allah memberikan kesehatan pada Nadia dan keluarga dan semoga kebahagiaan selalu mengalir untuk Nadia dan keluarga.
Setelah sepucuk surat rasa yang Nadia tulis selesai dibaca, Kak Irfan sungguh sangat bahagia. Kebahagiaan yang tak terbendung dan meruntuhkan air mata begitu derasnya.
Rasa sangat senang dan berterimakasih yang paling banyak sebanyak bunga melati di taman-taman hati atas cinta yang diungkapkan dengan tulus dalam huruf-huruf indah itu.
Haru biru ungkapan cinta di dada ini pun tanpa dusta berikrar sangat luas seluas samudera dan seluas angkasa; ruang-ruang cinta di dada ini pun sudah lama sesak dengan nama Nadia. Kakak pun merasa aneh selama ini, walaupun kenal Nadia hanya bebarapa saat dan bahkan sangat sekejap, tetapi perasaan itu tidak bisa berdusta, bahwa ukiran nama Nadia sunguh indah terpaut di hati. Dan dengan segenap hati Kakak pun ingin menjalin cinta yang sejati didalam naungan-Nya. Namun, Kakak ingin lebiih meyakini lagi bahwa Nadia bersungguh-sungguh untuk itu. Karena Nadia belum tahu siapa Kakak yang sebenarnya. Tak ada satu pun kebanggaan yang terselip, kedudukan yang diamanahkan, kekayaaan yang dititipkan, raga yang indah menawan, pada diri Kakak. Bahkan Kakak adalah orang yang hidup menunggu nasib dan bergelut dengan diri sebatang kara. Ayah, ibu semuanya telah tiada. Tinggal sendiri. Dan Nadia pun harus siap berlayar bersama Kakak seandainya nanti akan berliku-liku dan menerjang ombak yang bergulung-gulung. Kakak merasa khawatir kalau kita bersama layarnya tidak akan kuat dan penumpangnya tidak merasa nyaman. Namun jika penumpang itu setulus hati bersama-sama menghadapinya dan membantu nahkoda berlayar Insya Allah dengan niat tulus dari sanubarai Kakak kita melangkah bersama berlayar di atas samudera denga tali kasih sejati, tulus, murni, dalam naungan Illahi.

Psn: Kakak akan telpon Nadia besok ba’da Magrig.

***
Sehabis Magrib ia telepon Nadia.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”
“Dik, ini sama Kak Irfan. Dik ada sebersit kemantapan yang masih ingin mendapat kata kesejukan dari Adik. Dik boleh Kakak bertanya?”
“Boleh Kak!”
“Dik! Apakah niat sudah sedemikian bulat dan tak ada keraguan sedikitpun yang terselip”
“Sudah Kak. Insya Allah apa yang diplih Nadia sudah benar-benar iklas, tulus, hanya karena Allah”
“Kakak juga demikian. Insya Allah sudah niat yang suci. Dik, kalau begitu besok Kakak akan ke rumah Adik. Untuk menyucikan niat lewat wali Nadia”
“Kak, kalau bisa jangan besok, tapi sekarang ba’da isya Nadia tunggu. Karena Nadia tak ingin terlalu lama menunggu. Kalau Kakak sudah siap maka Nadia sebetulnya sudah menyiapkan segala sesuatunya dengan cepat. Kakak gak usah memikirkan apapun tentang biaya, biarlah Nadia yang akan memenuhinya. Tapi ga apa-apa sederhana. Ga usah terlalu banyak pengeluaran. Cukup akad diucapkan di mesjid lalu syukuran di rumah Nadia. Nadia mohon dengan hati tulus Kakak mau menerima apa yang telah Nadia persiapkan. Untuk maharnya Nadia cukup dengan cincin 1 gram dan dibacakan surat Ar-Rahman. Bagi Nadia itu lebih berharga dari apapun”
Irfan terdiam sejenak. Pikirannnya menerawang bercampur baur antara kebahagiaan dan kebingungan. Bahagia karena betapa Nadia, harta yang sedemikian luar biasa, meminta sesuatu yang sederhana tanpa mengeluarkan biaya. Bingung karena bagaimana mungkin seorang lelaki menikah tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun. Dimanakah letak kelelakiannya. Apakah dengan begitu kelelakiannya sebagai pemimpin sudah hilang. Memang kondisi Irfan sedemikian rupa adanya. Uang rasa-rasanya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pernikahan. Tapi kalau itu keinginan seorang yang nantinya akan jadi seorang istri yang sah. Bukankah sudah menjadi satu keluarga yang utuh. Tetapi mau dimana letak kehormatan seorang lelaki, walaupun mungkin tak banyak orang yang akan tahu tentang pernikahannya. Hanya dia seorang, Nadia dan keluarganya.
“Kak! Kenapa diam saja”
“Oh iya”
“Kenapa Kak”
“Ah tidak. Kalau memang Nadia iklas dengan semua itu, Kakak sangat bahagia, Kakak ikut apa yang diinginkan Nadia”
Tanpa menunggu waktu Irfan langsung mencari cincin emas sebagai mahar. Sehabis Isya akad pun terucap karena berkah cinta-Nya.
***
Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default