Tetesannya hingga kini tak pernah berhenti mengisahkan tentang berbagai cerita dan makna. Tentang jernihnya, debu yang pekat bertebaran di bumi tak pernah bisa mengotorinya. Tentang kemurniannya, goda yang mempesona dan melusuhkan jiwa dibuat tertegun tak berdaya. Demikian pula kesucianya, waktu dan zaman yang tinggal di penghujungnnya tak pernah melunturkan beningnnya. Begitulah air mata mengalir dari satu kisah ke kisahnya yang lain dengan penuh hikmah dan pelajaran yang dapat kita petik dalam aliran tetesannya.
Jika kita menelisik sejarah dari
masa ke masa dan menghitung butiran air mata di dalamnya akan tersingkap cerita
bahwa air mata bukan hanya menetes dari masyarakat biasa, miskin, dan kelas
bawah saja tetapi tokoh besar, kaya raya, dan kelas tinggi pun terjerat oleh
kisahnya. Dan sebab mengapa jatuhnya air mata itu pun berbeda beda dalam setiap
kisahnya.
Dua insan yang kesepian di
heningnya sunyi dan haus akan teman sejati pelepas rindu tak tertahankan
mengangkat kedua tangan memohon dalam doa di sepertiga malam dalam isak tangis
penuh syahdu. Getar-getar jiwa keduanya penuh khusyu memohon kepada sang maha
kasih agar dipertemukan dengan teman hidup dunia akhirat yang diberkahi, jadi
kesungguhan yang disaksikan air mata dalam sajadah kerinduan. Air mata yang
didalamnnya buah pengharapan dan rasa khawatir akan doa yang dipanjatkan. Pengharapan
yang tidak ada jalan lain selain meminta pada yang maha kasih karena hanya
pada-Nya setiap insan meminta pertolongan. Kekhawatiran akan tidak sampainya
doa yang dipanjatkan kepada-Nya dipasrahkan dengan sepenuh harapan. Disini air
mata adalah harapan. Harapan insan pada sang pencipta atas kesadaran betapa
lemahnya diri dan tanpa daya setitik pun membuat terwujudnya keinginan.
Hari demi hari berlalu, rahmat
yang maha pemurah pun mengabulkan doanya. Kedua insan yang telah lama memendam
rindu, dengan kasih-Nya dipertemukan dan dipersatukan dalam ikatan suci yang
berat. Kelopak mata kedua insan pun mendung dan tak tertahankan menghamburkan air mata. Kedua insan pun luruh
dibawah akad nikah yang dipersaksikan oleh air mata pertemuan yang berjatuhan.
Air mata yang mencairkan segunung kerinduan akan pengisi kesendirian, pemecah
sepi dikala hening, penyejuk jiwa dikala bara bergolak, dan penyadar diri
dikala tergelincir. Air mata dari
tetesan yang mengajarkan bahwa air mata adalah tanda kebahagiaan. Sebuah tanda
kehidupan tentang perasaan yang tenang, nyaman, teduh, dan penuh senyum
pengikat rasa.
Air mata kebahagian pun kita
jumpai ketika sepasang suami istri dikaruniai kelahiran seorang bayi. Betapa
air mata menjadi penghias rasa syukur dari kenikmatan mahligai rumah tangga
yang sudah dilengkapi seorang anak. Lengkap sudah arti keluarga. Regenerasi
yang memberikan makna mendalam arti sebuah keluarga. Karena dengannya garis
keturunan terus menyala menyusuri ambang zaman.
Di tengah membangun rumah tangga,
liku-liku, kerikil, tantangan, cobaaan, dan godaan, hiasan yang menguji
kekokohannya. Ketika kesempitan hidup menerpa dan fondasi keluarga menjadi
goyah, derai air mata tak dapat kita cegah. Alirannya mengalir dipipi tak sadar
membasahi. Begitu pun kegelapan yang kadang menghalangi pandangan hingga
kerikil tajam terinjak langkah dan luka meneteskan darah, disini air mata pun
tak sadar akan mengalir. Air mata dalam kekalutan, ketidakpastian, dan
keraguan. Air mata yang bertutur bahwa ia diciptakan untuk ruh kesedihan karena
memang hidup bukan hanya bahagia.
Nabi kita dan bunda Khadijah pun
meneteskan air mata. Ketika anak laki-laki semata wayang buah dari cintanya yakni
Ibrahim menghembuskan nafas terakhir. Anak semata wayang yang menjadi tumpuan
harapan penerus nasab dari keturunan. Sebab tradisi arab kala itu membenarkan
anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup , maka kematian Ibrahim berarti
terputusnya keturunan dari anak lelaki yang ketika itu menjadi suatu keharusan
hidup dan berarti satu kehilangan yang sangat berharga. Maka air mata keduanya
pun mengalir. Bukan berarti tidak ridho dengan ketetapan Tuhan. Bukan berarti
marah pada ketetapan Tuhan. Namun ada intisari pengajaran akan sifat cinta
kemanusiaan yang manusiawi. Bukankah nabi orang kuat. Ya benar, karena air mata
bukan berarti pasti lemah.
Air mata nabi pun berhamburan
kembali ketika istri tercinta bunda Khadijah menghadap rahmat-Nya. Air mata
fitrah yang mengajarkan kemanusiaan tentang cinta kasih yang suci, bersih,
murni, dan sejati. Bagaimana air mata itu tak berjatuhan mengingat
keimanannya ketika
orang-orang mengingkarinya dan tak terhitungnnya harta yang telah
disedekahkan bunda Khadijah untuk membangun dan membesarkan dakwah suami
tercinta. Mengenai kasih sayangnnya, tak usah diragukan. Ia tetap menemani nabi
dikala sempit mengiris sesaknya ruang kehidupan. Air mata yang telah
memancarkan sumber mata air kehidupan. Air mata yang membuat kita benar-benar
hidup dalam kehidupan yang sebenarnya.
Air mata taubat, satu sisi lain
dari kisah air mata yang menjadi saksi akan niat yang murni untuk menyesali
perbuatan dosa. Tak ada satu pun manusia yang bersih dari dosa, kecuali nabi
kita, oleh karena itu berderainya air mata karena menyesali segunung maksiat,
selangit kedzoliman, dan seluas bumi dosa, kesadaran yang benar betapa hina
diri kita. Tak ada satu hal pun yang dapat kita sombongkan . Kita ini adalah
mahluk kotor yang setiap hari dipenuhi dengan gemerlap dunia, kekayaan,
terpesona kedudukan, dan kebanggaan yang mendarah daging. Air mata yang
seharusnya membuat kesadaran untuk tidak mengulang lagi semua perbuatan
maksiat, dzalim, dan dosa. Dan air mata untuk berbuat kebaikan untuk menutup
semua maksiat, dzalim, dan dosa meski semuanya tak mungkin membayarnya.
