Akhir ramadhan selalu
mengguratkan kenangan indah dalam kisah kita. Ia berkesan karena noda hitam
dalam diri tak disisakan setitik pun. Segudang
dosa telah terbasuh oleh keihklasan menahan lapar dan dahaga selama sebulan
penuh hingga noda hitam dalam diri tersapu bersih tak bersisa. Apalagi bagi
mereka yang mendapat malam teragung berupa lailatul qodar, amalannya jadi
berlebih karena setara dengan seribu bulan.
Di akhir ramadhan kenangan kian
memuncak dengan gemuruh takbir tanda cinta yang menggema mengangkasa menembus
lapisan langit ke tujuh. Di berbagai
belahan bumi gemuruhnya bersahutan memenuhi ruang bumi hingga sesak tak
tersisa. Di berbagai negara di bumi lantunannya berhembus mengagungkan Allah
Yang Mahaqudus. Begitu pun di pelosok-pelsok desa hingga ke kaki gunung, ucapan
pengagungan tak henti bergemuruh dari satu mesjid ke mesjid lainnya.
Sejak dulu begitu. Setiap tahun
senantiasa begitu. Berganti tahun juga tetap begitu. Gemuruh takbir
pengaggungan ini meniadakan sifat takabur mahluk. Merendahkan diri dihadapan
Illahi dengan mengucap penuh kesadaran dari jutaan takbir. Menginsafi diri
betapa diri ini begitu tidak bernilai apapun dihadapan Allah Yang Maha Pencipta.
Maka tidaklah pantas bagi seorang mahluk berbangga-bangga diri, apalagi
merendahkan mahluk lainnya. Karena tidak secuil pun kebesaran tersemat dalam
dada. Kita, manusia tanpa daya apapun dalam menapaki kehidupan ini. Oleh karena
itu, jangalah kita merasa besar diri. Ketika harta kita berlimpah ruah,
sebenarnya harta itu bukan milik kita. Itu hanyalah amanah yang ditipkan oleh
Yang Mahakaya pada kita. Jika Yang Maha Pemberi Rezeki mengehendaki untuk
mengambilnya, selesai sudah kisah harta
yang ada di tangan kita. Dalam hal
diberi kedudukan pada strata teratas di mata masyarakat pun tak jauh berbeda.
Pada hakekatnya kedudukan itu bukan milik kita. Jadi tak pantas kita berbangga
diri di hadapan manusia karena kebanggaaan itu hanya mutlak milik Allah Yang
Mahagagah.
Gemuruh takbir mengarahkan
kesadaran kita akan kehinaan diri kita dan pengakuan kehinaan diri. Kita
terlahir dari setetes air yang hina, kemudian menjadi segumpal darah, kemudian
menjadi segumpal daging, kemudian daging itu dibungkus dengan tulang. Setetes
air yang hina buah dari pertemuan sperma dan ovum pada rahim kemudian menjadi
zygot. Pantaskah kalau begitu kita merasa besar diri kalau proses penciptaan
kita dari setetes air yang hina? Sungguh kita adalah mahluk yang tidak layak
merasa lebih tinggi ketimbang mahluk yang lainnya, apalagi dengan Yang Maha
Menciptakan. Kita tidak pantas membandingkan rupa. Kita tidak layak
membanggakan harta. Kita tidak seharusnya merendahkan kedudukan orang lain.
Apalagi menantang Yang Maha Menciptakan.
Penyerahan total pada Yang Maha
Besar atas segala urusan tercermin pada gemuruh takbir. Membesarkan asmanya dan
meniadakan kebesaran selain-Nya upaya menumbuhkan keyakinan akan kepastian
dipenuhinya berbagai macam kebutuhan tanpa menyisakan ruang keraguan sedikit
pun dan menyerahkan segala urusan hidup pada Yang Maha Mencukupi. Dengan
demikian jutaan takbir mengandung arti dan mendapat tempat keagungan yang
semestinya. Penyerahan total untuk menggantungkan diri pada kebesaran-Nya dan
menolak untuk begantung pada selain-Nya makna yang dipetik buahnya dari gemuruh
takbir itu. Lebih jauh lagi, sikap bergantung hanya mutlak pada-Nya dan
meniadakan mahluk lain untuk bergantung. Penghambaan totalitas pada Rab Tuhan
Semesta Alam dan menolak penghambaan pada mahluk.
Gemuruh takbir adalah gemuruh
cinta yang pada hakekatnya meninggikan posisi cinta di atas cinta lainnya. Ia
mengandung kecintaan terakhir dan tertinggi yang tidak boleh diberikan kepada
selain-Nya. Lantunan takbir menandakan kecintaan mahluk kepada Yang Mahacinta.
Ia salah satu wujud cinta yang termanifestasikan pada kata dari gerakan bibir
dan mulut. Karena penyebutan nama dan mengulangnnya berkali-kali adalah bukti
kecintaan. Sebagaimana seorang pencinta mahluk yang senantiasa bibirnya
mengucap nama kekasihnya adalah bukti cintanya. Begitu pun pada Yang Maha Cinta
ucapan itu harus merdu dan lembut.
“Allahu Akbaru-Allahu
Akbaru-Allahu Akbaru Laa Ilaaha Illaallaahu Wallaahu Akbaru Allaahu Akbaru Wa
Lillaahil Hamdu. Allaahu Akbaru Kabiiron
Wal Hamdu Lillahi Katsiiron Wa Subhaanallaahi Bukrotan Wa Ashiilan Laa Ilaaha
Illaallaahu Wa Laa Na’budu Illaa Iyyaahu Mukhlishiinlahuddiina Walau Karihal
Kaafiruuna. Laailaaha Illaallaahu Wahdahu Shodaqo Wa’dahu Wa Nasoro ‘Abdahu Wa
A’azza Jundahu Wa Hazamal Ahzaaba wahdahu Laa Ilalaha Illallaahu Wallaahu
Akbaru. Allahu Akbaru Wa Lillaahil Hamdu.”
