Gemuruh Cinta

Iman Rohiman
0
Akhir ramadhan selalu mengguratkan kenangan indah dalam kisah kita. Ia berkesan karena noda hitam dalam diri tak disisakan setitik pun.  Segudang dosa telah terbasuh oleh keihklasan menahan lapar dan dahaga selama sebulan penuh hingga noda hitam dalam diri tersapu bersih tak bersisa. Apalagi bagi mereka yang mendapat malam teragung berupa lailatul qodar, amalannya jadi berlebih karena setara dengan seribu bulan.

Di akhir ramadhan kenangan kian memuncak dengan gemuruh takbir tanda cinta yang menggema mengangkasa menembus lapisan  langit ke tujuh. Di berbagai belahan bumi gemuruhnya bersahutan memenuhi ruang bumi hingga sesak tak tersisa. Di berbagai negara di bumi lantunannya berhembus mengagungkan Allah Yang Mahaqudus. Begitu pun di pelosok-pelsok desa hingga ke kaki gunung, ucapan pengagungan tak henti bergemuruh dari satu mesjid ke mesjid lainnya.

Sejak dulu begitu. Setiap tahun senantiasa begitu. Berganti tahun juga tetap begitu. Gemuruh takbir pengaggungan ini meniadakan sifat takabur mahluk. Merendahkan diri dihadapan Illahi dengan mengucap penuh kesadaran dari jutaan takbir. Menginsafi diri betapa diri ini begitu tidak bernilai apapun dihadapan Allah Yang Maha Pencipta. Maka tidaklah pantas bagi seorang mahluk berbangga-bangga diri, apalagi merendahkan mahluk lainnya. Karena tidak secuil pun kebesaran tersemat dalam dada. Kita, manusia tanpa daya apapun dalam menapaki kehidupan ini. Oleh karena itu, jangalah kita merasa besar diri. Ketika harta kita berlimpah ruah, sebenarnya harta itu bukan milik kita. Itu hanyalah amanah yang ditipkan oleh Yang Mahakaya pada kita. Jika Yang Maha Pemberi Rezeki mengehendaki untuk mengambilnya,  selesai sudah kisah harta yang ada di tangan kita.  Dalam hal diberi kedudukan pada strata teratas di mata masyarakat pun tak jauh berbeda. Pada hakekatnya kedudukan itu bukan milik kita. Jadi tak pantas kita berbangga diri di hadapan manusia karena kebanggaaan itu hanya mutlak milik Allah Yang Mahagagah.

Gemuruh takbir mengarahkan kesadaran kita akan kehinaan diri kita dan pengakuan kehinaan diri. Kita terlahir dari setetes air yang hina, kemudian menjadi segumpal darah, kemudian menjadi segumpal daging, kemudian daging itu dibungkus dengan tulang. Setetes air yang hina buah dari pertemuan sperma dan ovum pada rahim kemudian menjadi zygot. Pantaskah kalau begitu kita merasa besar diri kalau proses penciptaan kita dari setetes air yang hina? Sungguh kita adalah mahluk yang tidak layak merasa lebih tinggi ketimbang mahluk yang lainnya, apalagi dengan Yang Maha Menciptakan. Kita tidak pantas membandingkan rupa. Kita tidak layak membanggakan harta. Kita tidak seharusnya merendahkan kedudukan orang lain. Apalagi menantang Yang Maha Menciptakan.

Penyerahan total pada Yang Maha Besar atas segala urusan tercermin pada gemuruh takbir. Membesarkan asmanya dan meniadakan kebesaran selain-Nya upaya menumbuhkan keyakinan akan kepastian dipenuhinya berbagai macam kebutuhan tanpa menyisakan ruang keraguan sedikit pun dan menyerahkan segala urusan hidup pada Yang Maha Mencukupi. Dengan demikian jutaan takbir mengandung arti dan mendapat tempat keagungan yang semestinya. Penyerahan total untuk menggantungkan diri pada kebesaran-Nya dan menolak untuk begantung pada selain-Nya makna yang dipetik buahnya dari gemuruh takbir itu. Lebih jauh lagi, sikap bergantung hanya mutlak pada-Nya dan meniadakan mahluk lain untuk bergantung. Penghambaan totalitas pada Rab Tuhan Semesta Alam dan menolak penghambaan pada mahluk.

Gemuruh takbir adalah gemuruh cinta yang pada hakekatnya meninggikan posisi cinta di atas cinta lainnya. Ia mengandung kecintaan terakhir dan tertinggi yang tidak boleh diberikan kepada selain-Nya. Lantunan takbir menandakan kecintaan mahluk kepada Yang Mahacinta. Ia salah satu wujud cinta yang termanifestasikan pada kata dari gerakan bibir dan mulut. Karena penyebutan nama dan mengulangnnya berkali-kali adalah bukti kecintaan. Sebagaimana seorang pencinta mahluk yang senantiasa bibirnya mengucap nama kekasihnya adalah bukti cintanya. Begitu pun pada Yang Maha Cinta ucapan itu harus merdu dan lembut.

“Allahu Akbaru-Allahu Akbaru-Allahu Akbaru Laa Ilaaha Illaallaahu Wallaahu Akbaru Allaahu Akbaru Wa Lillaahil Hamdu.  Allaahu Akbaru Kabiiron Wal Hamdu Lillahi Katsiiron Wa Subhaanallaahi Bukrotan Wa Ashiilan Laa Ilaaha Illaallaahu Wa Laa Na’budu Illaa Iyyaahu Mukhlishiinlahuddiina Walau Karihal Kaafiruuna. Laailaaha Illaallaahu Wahdahu Shodaqo Wa’dahu Wa Nasoro ‘Abdahu Wa A’azza Jundahu Wa Hazamal Ahzaaba wahdahu Laa Ilalaha Illallaahu Wallaahu Akbaru. Allahu Akbaru Wa Lillaahil Hamdu.”


Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default