Kenikmatan-kenikmatan yang Allah
curahkan kepada mahluk-Nya begitu berlimpah dan tidak dapat dihitung jumlahnya.
Jika anugerah kenikmatan itu dihitung dengan volume empat samudera, niscaya
kenikmatan menyelimuti dan tumpah ruah tak dapat tertampung. Jika anugerah
kenikmatan itu dibandingkan dengan enam benua, niscaya kenikmatan mengubur dan
kian menggunung melebihi Himalaya. Detik waktu yang berjalan menguatkan bukti
bahwa kenikmatan-kenikmatan itu tak dapat dibendung derasnya. Tiap tetesan
anugerah-Nya membasahi dunia, memenuhi kebutuhan-kebutuhan mahluk-Nya, dan
mengisi kekosongan-kekosongan yang tanpa disadari telah sesak dengan
karunia-Nya. Begitulah kenikmatan itu melimpah ke seluruh alam semesta sebagai
tanda kasih sayang-Nya dengan tanpa mengharap balas, karena kenikmatan yang
dilimpahkan itu hanya sebatang jarum bagi Maha Pemberi Rezeki.
Pertanyaaan yang layak diajukan,
bagaimana perilaku seorang muslim dalam menerima berbagai macam kenikmatan yang
dilimpahkan oleh Allah itu? Tentu pertanyaan ini pertanyaan klasik yang sudah
jutaan tahun lamanya muncul di permukaan bumi dan sudah sama-sama dipahami oleh
kita. Semua tahu jawaban yang tepat
adalah mensyukuri-Nya. Lantas pertanyaan selanjutnya, mengapa kita harus
menyukurinya? Dan Bagaimana mensyukurinya? Dua pertanyaan lanjutan yang harus
kita maknai dengan kecemerlangan.
Mensyukuri karunia-Nya adalah
pewujudan kesadaran akan kewajiban. Sebagaimana hubungan sosial mengajarkan
jika kita diberi maka mengucap terimakasih tak perlu lagi disimpan didalam dada.
Hal tersebut berlaku secara nyata pada kehidupan kita dan kelihatan wujudnya
dalam hubungan sosial di berbagai bangsa dan agama. Begitu pun kesadaran
terhadap karunia Allah yang tidak berdasarkan tatap muka transaksi langsung,
sikapnya tak jauh berbeda dengan hubungan sosial, bahkan seharusnya berlebih. Karena
karunia itu diberikan oleh yang Maha Tahu akan kebutuhan hamba-Nya. Maka, sudah
barang tentu wajib dilakukan oleh manusia kepada Allah yang telah mencukupinya.
Meski tak jarang kaki kita
terluka karena duri tajam menusuk-nusuk telapaknya, limpahan karunia-Nya
mengalahkan kegetiran dan membalut luka-luka itu hingga mengering. Walau air
mata berderai karena peristiwa kesedihan yang kelam kelabu dan bernaung di
kegelapan pandangan, anugerah-Nya mengantarkan senyum hangat seberkas mentari
pagi dan menawarkan sehelai kain penyeka agar air mata tak tumpah jatuh ke
tanah. Begitulah karunia kenikmatan itu hadir mencahayai lorong-lorong gelap
sisi manusia yang terikat nafsu dunia. Walaupun manusia sering ingkar.
Menyoal syukur berarti pula
berbicara tentang pelipatgandaan karunia. Disini manusia tidak mampu menjangkau
hitungan matematik balas jasa dari Allah. Ketika sikap syukur terhadap karunia
pemberian-Nya menjadi darah daging dan menyelimuti siang malam hari-harinya,
maka bersiaplah Allah mengantarkan jamuan terindah pada mahluk dengan sepuluh,
seratus, seribu, bahkan tak terhingga lipatannya. Sebab karunia-Nya semakin
disyukuri, ternyata bukan kian menipis dikonsumsi, tetapi kian melipat dan
melipat tanpa batas. Keistimewaan inilah yang seringkali belum benar-benar
diyakini dengan segenap hati. Manusia salah terka akan sikap mensyukuri. Manusia
terlalu terbelengu oleh kekikiran sehingga tanggannya tak dapat terulur dengan
bebasnya untuk sesama dan alam semesta.
Satu kata kuat yang harus selalu
didorong demi keberlimpahan anugerah itu tiada lain melakukan ekpektasi dalam
mensyukuri setiap karunia-Nya. Semakin cepat menysukuri berbagai karunia-Nya
semakin cepat pula pelipatgandaan anugerah itu sampai di hadapan kita. Kita
akan sesegera mungkin mengalami keajaiban-keajaiban dari sikap mensyukuri itu.
Kita pasti dapat menghilangkan dahaga dengan meneguk segelas anugerah-Nya dan
kenyang dengan memakan sepiring karunia-Nya. Memperlambatnya berarti
mempersulit diri menerima keberlimpahan karunia-Nya yang seringkali datang
tidak terduga dengan jumlahnya yang tak terhingga. Memperlambatnya berarti pula
menghambat perkembangan dalam pengelolaan keberlimpahan karunia-Nya.
Walaupun kita tahu bahwa
mensyukuri itu melipatgandakan, disisi yang lain ada manusia yang tidak mau
mensyukuri bahkan bersikap takabur. Mereka merasa bahwa kenikmatan-kenikmatan
yang ada pada dirinya hasil dari jerih payahnya, kucuran keringatnya, dan
perasan pikirannya. Bahkan mereka sudah meniadakan tangan-tangan manusia
lainnya yang membantu dalam mengantarakan karunia ke hadapannya. Sungguh mereka
telah jauh, jauh dari sikap murni manusia. Mereka sudah melupakan
bantuan-bantuan di sekelilingnnya. Mereka tidak sadar bahwa mereka telah hidup
dan bertahan hingga berusia dengan bantuan orang-orang di sekitarnya.
Bagi orang seperti ini,
bersiaplah dengan sesegera mungkin meneguk timah mendidih yang membakar amarah
jiwa dan makan duri yang melukai lambung rasa. Hati mereka akan rusak. Tak ada
lagi kepekaan untuk merasa sebab syaraf indreranya sakit dan sudah
terputus-putus. Hiasan hari-harinya sesak dengan ketamakan dan keserakahan yang
terus menghauskan dan menyiksa kelembutan nalurinya. Kerugian-kerugian akan
terus berganti dari satu hal ke hal lainnya sebab ketiadaan sifat syukur telah
menutup keberkahan baginya. Tanah-tanah di muka bumi pun mengering dan tak
mampu menumbuhkan pohon amal. Kebahagian pun enggan bersua dan sirna begitu
rupa.
