Ekspektasi Mensyukuri

Iman Rohiman
0
Kenikmatan-kenikmatan yang Allah curahkan kepada mahluk-Nya begitu berlimpah dan tidak dapat dihitung jumlahnya. Jika anugerah kenikmatan itu dihitung dengan volume empat samudera, niscaya kenikmatan menyelimuti dan tumpah ruah tak dapat tertampung. Jika anugerah kenikmatan itu dibandingkan dengan enam benua, niscaya kenikmatan mengubur dan kian menggunung melebihi Himalaya. Detik waktu yang berjalan menguatkan bukti bahwa kenikmatan-kenikmatan itu tak dapat dibendung derasnya. Tiap tetesan anugerah-Nya membasahi dunia, memenuhi kebutuhan-kebutuhan mahluk-Nya, dan mengisi kekosongan-kekosongan yang tanpa disadari telah sesak dengan karunia-Nya. Begitulah kenikmatan itu melimpah ke seluruh alam semesta sebagai tanda kasih sayang-Nya dengan tanpa mengharap balas, karena kenikmatan yang dilimpahkan itu hanya sebatang jarum bagi Maha Pemberi Rezeki.
Pertanyaaan yang layak diajukan, bagaimana perilaku seorang muslim dalam menerima berbagai macam kenikmatan yang dilimpahkan oleh Allah itu? Tentu pertanyaan ini pertanyaan klasik yang sudah jutaan tahun lamanya muncul di permukaan bumi dan sudah sama-sama dipahami oleh kita. Semua tahu  jawaban yang tepat adalah mensyukuri-Nya. Lantas pertanyaan selanjutnya, mengapa kita harus menyukurinya? Dan Bagaimana mensyukurinya? Dua pertanyaan lanjutan yang harus kita maknai dengan kecemerlangan.
Mensyukuri karunia-Nya adalah pewujudan kesadaran akan kewajiban. Sebagaimana hubungan sosial mengajarkan jika kita diberi maka mengucap terimakasih tak perlu lagi disimpan didalam dada. Hal tersebut berlaku secara nyata pada kehidupan kita dan kelihatan wujudnya dalam hubungan sosial di berbagai bangsa dan agama. Begitu pun kesadaran terhadap karunia Allah yang tidak berdasarkan tatap muka transaksi langsung, sikapnya tak jauh berbeda dengan hubungan sosial, bahkan seharusnya berlebih. Karena karunia itu diberikan oleh yang Maha Tahu akan kebutuhan hamba-Nya. Maka, sudah barang tentu wajib dilakukan oleh manusia kepada Allah yang telah mencukupinya.
Meski tak jarang kaki kita terluka karena duri tajam menusuk-nusuk telapaknya, limpahan karunia-Nya mengalahkan kegetiran dan membalut luka-luka itu hingga mengering. Walau air mata berderai karena peristiwa kesedihan yang kelam kelabu dan bernaung di kegelapan pandangan, anugerah-Nya mengantarkan senyum hangat seberkas mentari pagi dan menawarkan sehelai kain penyeka agar air mata tak tumpah jatuh ke tanah. Begitulah karunia kenikmatan itu hadir mencahayai lorong-lorong gelap sisi manusia yang terikat nafsu dunia. Walaupun manusia sering ingkar.
Menyoal syukur berarti pula berbicara tentang pelipatgandaan karunia. Disini manusia tidak mampu menjangkau hitungan matematik balas jasa dari Allah. Ketika sikap syukur terhadap karunia pemberian-Nya menjadi darah daging dan menyelimuti siang malam hari-harinya, maka bersiaplah Allah mengantarkan jamuan terindah pada mahluk dengan sepuluh, seratus, seribu, bahkan tak terhingga lipatannya. Sebab karunia-Nya semakin disyukuri, ternyata bukan kian menipis dikonsumsi, tetapi kian melipat dan melipat tanpa batas. Keistimewaan inilah yang seringkali belum benar-benar diyakini dengan segenap hati. Manusia salah terka akan sikap mensyukuri. Manusia terlalu terbelengu oleh kekikiran sehingga tanggannya tak dapat terulur dengan bebasnya untuk sesama dan alam semesta.
Satu kata kuat yang harus selalu didorong demi keberlimpahan anugerah itu tiada lain melakukan ekpektasi dalam mensyukuri setiap karunia-Nya. Semakin cepat menysukuri berbagai karunia-Nya semakin cepat pula pelipatgandaan anugerah itu sampai di hadapan kita. Kita akan sesegera mungkin mengalami keajaiban-keajaiban dari sikap mensyukuri itu. Kita pasti dapat menghilangkan dahaga dengan meneguk segelas anugerah-Nya dan kenyang dengan memakan sepiring karunia-Nya. Memperlambatnya berarti mempersulit diri menerima keberlimpahan karunia-Nya yang seringkali datang tidak terduga dengan jumlahnya yang tak terhingga. Memperlambatnya berarti pula menghambat perkembangan dalam pengelolaan keberlimpahan karunia-Nya.
Walaupun kita tahu bahwa mensyukuri itu melipatgandakan, disisi yang lain ada manusia yang tidak mau mensyukuri bahkan bersikap takabur. Mereka merasa bahwa kenikmatan-kenikmatan yang ada pada dirinya hasil dari jerih payahnya, kucuran keringatnya, dan perasan pikirannya. Bahkan mereka sudah meniadakan tangan-tangan manusia lainnya yang membantu dalam mengantarakan karunia ke hadapannya. Sungguh mereka telah jauh, jauh dari sikap murni manusia. Mereka sudah melupakan bantuan-bantuan di sekelilingnnya. Mereka tidak sadar bahwa mereka telah hidup dan bertahan hingga berusia dengan bantuan orang-orang di sekitarnya.
Bagi orang seperti ini, bersiaplah dengan sesegera mungkin meneguk timah mendidih yang membakar amarah jiwa dan makan duri yang melukai lambung rasa. Hati mereka akan rusak. Tak ada lagi kepekaan untuk merasa sebab syaraf indreranya sakit dan sudah terputus-putus. Hiasan hari-harinya sesak dengan ketamakan dan keserakahan yang terus menghauskan dan menyiksa kelembutan nalurinya. Kerugian-kerugian akan terus berganti dari satu hal ke hal lainnya sebab ketiadaan sifat syukur telah menutup keberkahan baginya. Tanah-tanah di muka bumi pun mengering dan tak mampu menumbuhkan pohon amal. Kebahagian pun enggan bersua dan sirna begitu rupa.



Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default