Merangkai ikatan suci tentunya
harus didasari oleh niat yang suci. Membersihkannya dari bisikan nafsu duniawi
sebuah kemestian yang tidak mau tidak harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Walau kekecewaan masa lalu terkadang mencipta kabut, usaha dan menjaga agar
niat senantiasa bersih teguh dipegang erat. Walau harapan masa depan satu
ketidakpastian, tekad baja dikedepankan dengan persiapan terbaik agar niat suci
itu sampai pada-Nya dan hasrat duniawi melepuh tanpa tapak.
Ketika niat merangkai ikatan suci
bertemu kenyataan bahwa pada manusia berkumpul kelebihan dan kekurangan,
penerimaan diantara dua pihak satu pemahaman sikap yang akan memudahkan cita
kasih di masa depan. Penerimaan suatu
bentuk kesadaran bahwa tidak ada satu pun manusia, kecuali nabi, yang sempurna
dalam fisik, akal, dan ruhaninya. Boleh kita memimpikan suatu hal yang ideal,
bahkan harus, tapi sikap penerimaan akan kekurangan suatu bentuk kesadaran akan
sifat manusia itu sendiri sehingga bangunan ikatan suci yang terbentuk kokoh
karena kuatnya fondasi.
Penerimaan akan kekurangan
manusia satu bentuk keihklasan perbuatan. Ia penggambaran akan hakekat
kesadaran ciptaan-Nya yang harus dihargai sama. Ia sama-sama dilahirkan dari
nutfah, kemudian jadi alaqah, kemudian jadi mudhghah, dan dilengkapi dengan
ruh. Oleh karena itu, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Semuanya
sama. Hanya taqwa yang membedakannya.
Penerimaan akan kekurangan, satu
bentuk dari sikap mencintai sesama muslim seperti mencintai dirinya sendiri.
Rupa butuh dipertimbangkan. Wajah putih bersih atau kuning langsat, pantulan
keindahan sang maha indah yang diharapkan rasa insani. Tidak salah. Bahkan
dianjurkan. Wajah hitam manis, satu keindahan lainnya yang menarik pandangan
untuk tetap terjaga. Wajah hitam legam, pertimbangan yang mematangkan
kemanusian dan meniadakan keluhuran. Wajah apapun warnanya, semua dicipta
oleh-Nya. Tidak patut kita menolak sembari menghujat dan berprasangka akan
ciptaan-Nya. Sejauh mana kemampuan kita untuk menerima apa adanya dan mecintai
apa adanya itu yang utama. Tidak lebih.
Penerimaan kadar kekayaan materi
hal yang tidak terlalu istimewa. Boleh dipertimbangkan. Tidak mengapa. Mau yang
memiliki perusahaan nasional atau lokal. Tidak salah. Namun, semua kekayaan itu
masa depannya tidak pasti, sebagaimana hari-hari yang akan dilalui oleh manusia
di masa depan juga tidak pasti. Maka yang terpenting bukannya kekayaan itu,
tetapi penerimaan ketidakpastian kekayaan di masa depan. Itu yang utama.
Penerimaan kedudukan lewat
stratifikasi masyarakat modern boleh. Bahkan perlu. Strata 1 hingga Strata 3
perlu diupayakan agar generasi mendatang lebih baik keilmuannya. Tanpa pendidikan
Strata 1, hanya tamatan SMA pun bukan
masalah. Karena yang lebih penting kebermanfaatan ilmu yang kita miliki untuk sebanyak-banyaknya
manusia. Lebih baik lagi jika pendidikan tinggi dan bermanfaat bagi manusia
sebanyak-banyaknya. Itu pilihan terbaik.
Penerimaan jarak yang berbeda
bukan sebab yang memisahkan. Beda kota bukanlah masalah yang berakibat pada
retaknya ikatan yang terjalin dengan kebersihan komitmen, karena penerimaan cinta
telah menghapuskan perbedaanya. Beda pulau tak menghalangi ikatan suci yang
dirangkai dengan kasih sayang tulus dan dalam karena penerimaan cinta telah
merubah lautan menjadi parit. Bahkan beda negara bukan hal yang menghentikan
ketulusan untuk menyulam kebahagiaan di taman keluarga karena penerimaan cinta
telah menghapus ruang bumi tanpa batas. Oleh karena itu yang terpenting
bukanlah jarak itu, tapi penerimaan itu sendiri yang utama.
Penerimaan aktivitas yang berbeda
satu hal yang harusnya seirama. Seorang karyawan berpasangan buruh pabrik bukan
soal. Seorang tukang bakso berpasangan dengan seorang pedagang eceran bukan
masalah. Begitu pun seorang petani yang berpasangan dengan seorang pengajar tak
jagi beban. Yang terpenting dari semua itu adalah penerimaan akan perbedaan dan
mengharmonikan keadaan tersebut dengan rasa itu yang terbaik. Karena
kebahagiaan tercipta bukan berarti harus sama. Tetapi bagaimana harmoni dari
perbedaan itu mampu mencipta kedamaian dan ketentraman batin.
Penerimaan usia mencipta suasana
saling menghormati dan menghargai. Istri usianya berlebih atau suami usianya
berlebih sama saja. Tua maupun muda telah melebur menjadi satu keindahan yaitu
keserasian. Bukankah nabi menikahi bunda Khadijah terpaut rentang usia yang
cukup jauh. Namun, kebahagiaannya mendalam dalam ingatan nabi. Begitu pula
ketika menikahi ummul mukminin Aisyah usianya terpaut cukup jauh. Namun,
indahnya kemesraan jadi kenangan tak terlupakan. Jadi usia bukanlah hal yang
menggundahkan, tapi penerimaan akan usia itu sendiri yang penting.
Penerimaan agama titik utama yang
tak bisa tergantikan. Berkerudung sesuai dengan syariat wajib. Berkerudung
sebatas tradisi butuh diperbaiki. Senantiasa shalat berjamaah keutamaan. Shalat
sendirian butuh perbaikan. Ahlaq di keluarga, tetangga, dan masyarakat umum
lebih utama. Namun, manusia di masa depan tidak pasti. Imannya bisa turun bisa
naik. Orang yang tadinya lemah lembut bisa berubah menjadi kasar. Orang yang
dalam kasih sayangnnya dapat merapuh. Jadi penerimaan agama yang sedang
diterima saat itu lebih penting sembari terus saling memperbaiki diri diantara
keduannya itu yang utama.
Jadi kunci dari semua itu adalah
penerimaan. Penerimaan akan semua hal yang ada pada diri seorang manusia. Baik
itu rupa, materi, stratifikasi, agama, aktivitas dan lain sebagainya. Karena
penerimaan mampu membawa kesadaran
insani mendorong kekurangan-kekurangan ke arah perbaikan dan peningkatan
kualitas. Selain itu, dengan penerimaan maka sikap menghargai keberadaan apapun
akan memunculkan penghargaan dan penghormatan kepada manusia itu sendiri sebagai
mahluk ciptaan-Nya.
Jadi terimalah…
