Dinamika hidup mengajarkan kita
tentang keseimbangan. Dimana ada siang disitu ada malam. Dimana ada air mata
disitu ada senyum tawa. Dimana ada kesempitan disitu ada kelapangan. Dimana ada
cobaan disitu ada kesabaran. Namun, bagi seorang muslim semua itu bermuara pada
kebaikan. Karena tak ada satu hal pun dalam hidupnya yang tidak bernilai
kebaikan. Jika ia dihadapkan pada kebahagiaan ia bersyukur dan syukurnya
menjadi pahala. Jika ia dihadapkan pada ujian ia bersabar dan sabarnya meraih pahala.
Sungguh indah hidup seorang mukmin kalau begitu
Dalam pandangan seorang mukmin
kisah-kisah hidup yang disusurinya tak terbetik satu pun keburukan. Semuanya kebaikan. Namun, seringkali pikiran
mengarahkan pada terbentuknya pandangan buruk apabila yang menimpa pada dirinya
dirasa penderitaan. Pikiran selalu menyimpulkan kerugian bisnis, derita air
mata, penolakan khitbah, kegagalan pendidikan, kegagalan dalam meraih kursi
dewan, musibah, dan ujian lainnya sebagai hukuman yang merendahkan dirinya.
Sehingga ia meronta-ronta pada takdir yang menimpanya dan seringkali bisikan
syetan dalam hati menggoda dengan kalimat-kalimat pernyataan bahwa “Tuhan tidak
adil’. Pikirannya liar dan menakar kegetiran-kegetiran layaknya pukulan keras
yang memporak porandakan kebahagian-kebahagian yang pernah dialaminya.
Salahkah jika orang yang
menderita terbesit pikiran seperti itu? Tentu sebagai manusia yang lemah, cara
pandang seperti itu wajar adanya. Hanya saja memiliki batas-batas yang tidak
berkelanjutan. Jika berkelanjutan maka semuanya menjadi hal yang dapat dianggap
salah dan tidak layak untuk dilakukan oleh seorang muslim. Pada batas-batas
tertentu yang hanya bisikan didalam hati yang sekilas saja itu manusiawi.
Seterusnya pengendalian cara pandang terhadap bisikan-bisikan itu ke ranah baik
sangka terhadap ketentuan-Nya adalah langkah utama yang ditempuh oleh seorang
muslim yang mengharap keridhoan-Nya. Mengapa demikian? Karena hal tersebut
kewajiban bagi seorang muslim yang yakin terhadap Qadho dan Qodharnya. Itu adalah
manifestawi keimanan. Keimanan yang mewujud di dalam batin.
Kesabaran hal lain dalam
manifestasi keimanan ketika menghadapi ujian hidup. Kesabaran adalah bukti.
Bukti yang akan berbicara pada dirinya sendiri tentang pernyataan keimanannya.
Ia pun bukti yang menggambarkan sampai sejauh mana ukuran kecintaan seorang
hamba pada Tuhannya. Karena di dalam ujian dan cobaan-Nya itu ada penilaian
tentang keridhoannya terhadap yang dicintai-Nya. Disinilah letak keunggulan
seorang muslim ketimbang mereka yang tidak menyadari betapa Islam telah
mengajarkan berbagai kebaikan dalam kesabaran.
Disini pula tempat mengukur penghambaan manusia terhadap Tuhan yang maha
kaya.
Kesabaran berbicara pada manusia
tentang sikap mulia menyikapi berbagai hal dalam rentang waktu hidup. Ia mampu
membisikan kata pelembut di batu cadas hati yang tak mau mendengar
nasihat-nasihat kebaikan. Ia kekuatan yang mampu mengurai kerumitan dan kemelut
jiwa yang gelisah karena nafsu merapat dan bermain dalam angan. Tangan-tangan
kesabaran begitu mencengkeram kuat dan meluluhlantakan prasangka buruk hingga
melebur tak berjejak lagi. Kalau begitu, sungguh indah hidup seorang muslim
yang dihias sabar di setiap detiknya.
Kesabaran adalah daya tahan diri.
Ia pengendali laku yang seringkali tergesa-gesa dan dinodai nafsu amarah.
Dengannya ketergesaan dalam menyikapi berbagai hal yang dilalui akan menemukan
jalan terang. Seperti bening embun di pagi hari. Sejuk dan bersih suci.
Noda-noda nafsu yang melekat di tubuh yang kasar ini, perlahan tapi pasti terbasuh
dengan penerimaan ikhlas dan ikhtiar yang menggerakan ke ranah posistif. Hingga
noda-noda itu sedikit demi sedikit terurai bahkan tak tersisia lagi di tubuh
kita.
Kesabaran adalah kekuatan.
Sebagaiamana putra dari Habsyah yang sabar dijemur di teriknya mentari padang
pasir demi untuk mempertahankan aqidahnya. Sembari mengucap, “God is one, God
is one”, tubuhnya yang hitam legam jadi saksi kuatnya kesabaran Bilal yang
dihimpit batu di dada. Berapa banyak pukulan dan siksaan yang menerpa tubuhnya.
Namun, ia sabar dengan ujian ini. Ia kokoh menerima derita dengan kesabarannya.
Ia kuat dengan kesabaran yang menghujam di dadanya. Teriknya mentari padang
pasir baginya hanya gigitan semut yang dengan seketika lenyap tanpa rasa.
Begitu pun beratnya batu yang menghimpit dada serasa selimut tebal di bekunya
kutub. Itulah kesabaran. Ia menguatkan dan menghapus kelemahan.
Kalau begitu, gambaran kekuatan
seorang muslim dapat diraba dari kesabarannya. Seorang muslim yang mengerti
akan menyadari bahwa setiap yang terjadi dan menimpa dirinya merupakan ladang
baginya untuk bercocok tanam kesabaran. Manakala ujian dan cobaan berat
menghempasnya, seorang muslim tetap berdiri kokoh. Laksana baja yang di tanam
ratusan meter ke dalam perut bumi. Ia tegak berdiri dan tak tergoyahkan meski
badai menerjang dan meluluhlantakan pepohonan.
Bagi seorang muslim kesabaran adalah
energi yang menguatkan, mengencangkan, dan melembutkan jiwa yang keras berbatu.
Bagi seorang muslim, kesabaran adalah kekuatan. Kekuatan hidup. Kekuatan mati.
Kekuatan merancang cita. Kekuatan merenda mahligai rumah tangga. Kekuatan
berkarya untuk bangsa dan agama.
